DE

Hak Asasi Manusia
Penyandang Disabilitas Mental Bolehkah Bekerja?

Diskusi online Lembaga INDEKS dan FNF Indonesia “Hidup dengan Isu Kesehatan Mental; Bolehkah Kami Bekerja?”
indeks
© Pinterest.

Hak Asasi Manusia (HAM) bersifat universal. Karena itu, kebebasan dan hak-hak setiap manusia harus dihormati dan dilindungi, tanpa diskriminasi. Termasuk hak atas pekerjaan bagi penyandang disabilitas mental.

Meskipun terdapat sejumlah aturan untuk memastikan hak atas pekerjaan penyandang disabilitas terpenuhi, namun dalam prakteknya terdapat sejumlah tantangan.

Friedrich Naumann Foundation (FNF) Indonesia dan Lembaga INDEKS (Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial) bekerjasama dengan Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia mengadakan diskusi online bertajuk “Hidup dengan Isu Kesehatan Mental; Bolehkah Kami Bekerja?” pada Jumat, 1 September 2023.

Diskusi ini, menurut Ganes Woro Retnani (Program Officer FNF Indonesia), salah satu tujuannya adalah mendiskusikan kendala yang dihadapi pekerja atau calon pekerja dengan isu kesehatan mental untuk berada di dunia kerja terutama sektor formal dan cara menjembatani isu ini. Selain itu untuk mengeksplorasi perspektif medis tentang sejauh mana orang dengan isu kesehatan mental mampu bekerja pada sektor formal. 

“Kedua, mengeksplorasi implementasi aturan terkait pekerja dengan isu kesehatan mental oleh pelaku usaha sektor formal,” papar Ganes dalam sambutan diskusi.

Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber. Yakni, Salwa Paramitha (Perhimpunan Jiwa Sehat), M. Naufal Izul Fahlefi (PT Indofood Sukses Makmur divisi Bogasari), dan dr. Santi Yuliani (Psikiater). Diskusi ini dipandu oleh Mathelda Chris Titihalawa (Lembaga INDEKS).

Tantangan di Dunia Kerja bagi Penyandang Disabilitas Mental

Salwa sebagai narasumber pertama menyampaikan materinya menggunakan perspektif HAM dan penyandang disabilitas mental. Menurutnya, pada dasarnya negara telah menjamin hak atas pekerjaan bagi penyandang disabilitas, melalui peraturan-peraturan yang ada.

“Pada dasarnya negara telah menjamin hak setiap orang untuk memperoleh pekerjaan sebagaimana diatur dalam beberapa peraturan,” beber Salwa.

Namun dalam prakteknya, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas mental masih terjadi dalam konteks hak atas pekerjaan. Ia memaparkan beberapa contoh diskriminasi terhadap penyandang disabilitas mental yang tersaji nyata di info-info lowongan pekerjaan.

Misalnya persyaratan ‘sehat jasmani dan rohani’, ‘tidak buta warna’, dan ‘bebas dari pengaruh narkotika dan zat adiktif lainnya’.

“Kesehatan rohani ada hubungannya dengan kesehatan mental yang mencakup emosional, psikologis, dan sosial. Pertanyaannya, bagaimana penyandang disabilitas mental bekerja di saat syarat awal saja sudah mensyaratkan sehat jasmani dan rohani?” kata Salwa.

Berdasarkan pengalamannya saat dulu mencari kerja, Salwa sebagai penyandang disabilitas mental kesulitan lolos persyaratan ini yang dibuktikan dengan melakukan tes Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI).

“Pada dasarnya negara telah menjamin hak setiap orang untuk memperoleh pekerjaan sebagaimana diatur dalam beberapa peraturan.... namun dalam prakteknya, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas mental masih terjadi”

Salwa
Salwa Paramitha, Perhimpunan Jiwa Sehat.

Yang Harus Dilakukan Pemberi Kerja

Narasumber dari perwakilan bisnis Naufal menyampaikan, penyandang disabilitas mental memiliki hak atas pekerjaan. Hal itu berdasarkan UU no. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menyatakan bahwa penyandang disabilitas, termasuk mereka yang memiliki gangguan kesehatan mental, memiliki hak yang sama untuk bekerja dan berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi.

“Penerimaan kerja itu tidak boleh berdasarkan diskriminasi dan dasar disabilitas. Tidak semua perusahaan itu seperti yang disampaikan oleh narasumber sebelumnya. Terdapat perusahaan-perusahaan besar terutama yang go public mereka harus benar-benar menjaga tidak boleh ada diskriminasi,” tutur Naufal.

Naufal memberikan sepuluh masukan untuk diimplementasikan di perusahaan-perusahaan terkait dengan isu kesehatan mental di dunia kerja. Lima di antaranya:

  1. Sensibilitas dan edukasi untuk meningkatkan kesadaran di tempat kerja tentang isu kesehatan mental.
  2. Menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan mendukung.
  3. Komitmen atasan dan manajemen untuk mendukung dan memahami kebutuhan individu yang mengalami isu kesehatan mental.
  4. Menyediakan program kesejahteraan yang mencakup dukungan kesehatan mental, seperti layanan konseling atau sesi grup untuk berbagi pengalaman.
  5. Memastikan karyawan memiliki akses mudah ke sumber daya dan dukungan yang tersedia, baik dalam bentuk layanan kesehatan mental profesional maupun informasi bermanfaat.

Sebagai pihak pengguna tenaga kerja, Naufal dalam kesempatan ini menyampaikan kepada kawan-kawan penyandang disabilitas jangan khawatir karena banyak perusahaan yang sudah go public yang sedang proses menjadi lebih inklusif.

“Jadi jika belum diterima di satu perusahaan, yakinlah ada kesempatan yang lebih baik di perusahaan berikutnya,” pungkas Naufal.

“Jadi jika belum diterima di satu perusahaan, yakinlah ada kesempatan yang lebih baik di perusahaan berikutnya,”

naufal
M. Naufal Izul Fahlefi, PT Indofood Sukses Makmur divisi Bogasari

Am I Capable?

Narasumber ketiga, dr. Santi Yuliani, memaparkan materinya soal apakah penyandang disabilitas mental mampu bekerja dalam perspektif medis?

Menurutnya, bukan hanya pemberi kerja saja yang meragukan penyandang disabilitas mental mampu bekerja. Juga, karena stigma negatif yang diarahkan oleh masyarakat terhadap penyandang disabilitas mental membuat mereka ragu dengan kapabilitas dirinya dalam bekerja.

“Masih banyak orang yang menstigma negatif gangguan mental itu penyakit gila. Juga menggunakan term ‘gila’. Ia tidak bisa sembuh dan tidak bisa produktif. Selain itu dianggap berbahaya, suka ngamuk, nyerang orang. Terakhir, dianggap beban keluarga,” beber dr. Santi.

Stigma-stigma tersebut mengarah ke stigma struktural. Dampaknya, para penyandang disabilitas mendapatkan perlakukan berbeda pada layanan publik dan swasta, seperti di sekolah, kantor, dan saat berada di customer service.

Adapun di dunia kerja, seringnya mereka mendapatkan penilaian subjektif oleh bagian HRD terkait sakitnya.

Menurutnya, masyarakat dan pihak pemberi kerja harus memahami bahwa penyakit mental adalah masalah medis. Bukan malah distigma negatif di luar urusan medis. Karena ini masalah medis, maka kebutuhan mereka ke tenaga medis seperti psikiater dan ketergantungan pada obat harus disikapi sebagaimana sikap pemberi kerja dan masyarakat kepada penyandang sakit fisik seperti penyakit jantung, dan lainnya.

Orang-orang penyandang bipolar, ADHD, skizofrenia, dan lainnya tentuk tidak dalam kondisi akut yang terus-menerus; sebagaimana orang-orang penderita jantung, hipertensi, paru-paru, gerd, diabetes, dan penyakit fisik lainnya. Dalam kondisi sakit yang terkendali, penyandang disabilitas mental sebagaimana penderita penyakit fisik, tentu saja bisa bekerja dan produktif.

“Ketika seseorang dalam kondisi sakit tentu tidak mampu bekerja dengan baik. Tetapi ketika sakitnya dalam kondisi terkendali maka ia bisa menjalankan perannya dalam bekerja,” kata influencer dan educator isu mental health ini.

Jadi, bagi dr. Santi, tidak ada alasan rasional untuk menghalang-halangi hak atas pekerjaan bagi penyandang disabilitas mental yang kondisi sakitnya bekerja.

Dengan memberikan peluang mereka bekerja akan menciptakan keuntungan timbal balik. Bagi pemberi kerja mendapatkan manfaat atas kapabilitas mereka dalam bekerja. Bagi pekerja penyandang disabilitas mental, dengan bekerja akan membantu mempercepat pemulihan sakitnya.

--------------

Ditulis oleh Sukron Hadi, Program Manager Lembaga INDEKS.