DE

Energy Sustainability
Diskusi Peluncuran Makalah Kebijakan CIPS “Achieving Indonesian Palm Oil Farm-to-Table Traceability through ISPO-RSPO Harmonization”

Diskusi Makalah Kebijakan CIPS

Saat ini, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Menyumbangkan 59,5% dari produksi minyak sawit global pada tahun 2021/2022, negara kepulauan ini mampu menghasilkan sebanyak 51,3 juta ton minyak sawit pada tahun 2021 dan diperkirakan meningkat 3% menjadi 53 juta ton di tahun 2022. Berdasarkan data dari GAPKI (2022), jumlah tersebut terdiri dari 46,9 juta ton minyak sawit mentah (CPO) dan 4,4 juta ton minyak inti sawit (PKO). Perkebunan swasta mendominasi produksi kelapa sawit di Indonesia dengan menghasilkan 60,22% dari total produksi pada tahun 2020, diikuti oleh perkebunan rakyat sebesar 34,62% dan perkebunan milik negara sebesar 5,16% (BPS, 2021).

Produksi minyak kelapa sawit Indonesia yang semakin masif tidak dipungkiri juga mendorong angka deforestasi dan memberikan efek buruk terhadap keanekaragaman hayati. Dalam dua dekade terakhir, industri kelapa sawit menyumbang deforestasi hingga 3 juta hektar hutan primer di Indonesia (SEI, 2020). Terlebih, berbagai konflik tenurial yang melibatkan masyarakat adat dan perusahaan pengembang perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga masih marak terjadi.

Namun demikian, upaya industri kelapa sawit di Indonesia untuk bertransformasi menjadi lebih berkelanjutan mulai menunjukkan hasil. Skema sertifikasi global untuk komoditas kelapa sawit, yakni Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) yang dibentuk sejak 2004 lalu menunjukkan hasilnya. Terlebih, di tahun 2011 Indonesia mengembangkan standar sertifikasi kelapa sawit nasional melalui Peraturan Menteri Pertanian No.19/Permentan/ 3/2011.

Laju deforestasi Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. World Bank menyebut, deforestasi Indonesia mencapai titik terendah pada periode 2019-2021 seluas 0,12 juta hektar setelah sebelumnya mencapai 1,08 juta hektar pada periode 2000-2007 (World Bank, 2023). Namun demikian, adanya dua standar sertifikasi keberlanjutan dalam industri kelapa sawit di Indonesia juga dinilai belum optimal dan membingungkan pelaku usaha dan petani lokal. Terebih, ISPO sendiri dinilai lebih ‘longgar’ dalam penerapan standard dan syarat-syarat keberlanjutan, baik pada aspek sosial dan aspek lingkungannya.

Melihat relaitas tersebut, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) merilis studi terbarunya Achieveing Indonesia Palm Oil Farm to Table Traceability through ISPO-RSPO Harmonization. Acara peluncuran makalah kebijakan terbaru ini bertajuk “Minyak Sawit: Dapatkah Menjadi Kekayaan yang Berkelanjutan?” menghadirkan perwakilan dari pemerintah, asosiasi pengusaha kelapa sawit, RSPO, dan serikat petani kelapa sawit Indonesia. Acara yang dimoderatori oleh Mukhammad Faisol Amir, peneliti muda CIPS ini dilangsungkan pada Jumat, 31 Maret 2023 secara daring.

Isu Keberlanjutan di Industri Kelapa Sawit

Samuel Pablo Pereira, peneliti mitra CIPS menyebut bahwa dua aspek utama yang mejadi kendala dalam mewujudkan keberlanjutan industri kelapa sawit di Indonesia ini adalah: (1) legalitas kepemilikan lahan dan (2) praktik perkebunan yang dilakukan oleh petani swadaya. Pablo menjelaskan, bahwa ISPO dan RSPO memiliki pandangan berbeda mengenai dua hal ini. ISPO, sebagai standard nasional berpaku pada legal basis, seperti SHM (Sertifikat Hak Milik) atau HGU (Hak Guna Usaha) sebagai landasan dan bukti kepemilikan atau pengolelolaan lahan yang sah. Sehingga, keberadaan bukti legal atas kepemilikan lahan yang dimiliki secara otomatis bisa dijadikan rujukan pemenuhan standard keberlanjutan.

Di sisi lain, RSPO mengakomodir adanya konflik tenurial yang marak terjadi di wilayah-wilayah adat, sehingga RSPO secara eksplisit menyaratkan adanya skema PADIATAPA (Peresetujuan atas informasi sejak awal tanpa paksaan) atau lebih dikenal dengan prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent) dan Mekanisme Remediasi dan Kompensasi atau RaCP (Remediation and Compensation Procedure)

Selain itu persoalan lahan, standard lingkungan yang ditetapkan ISPO dan RSPO juga berbeda. Salah satunya adalah tentang penanaman sawit di lahan gambut. Pablo menjelaskan, bahwa RSPO memiliki standard yang lebih tinggi terhadap hal ini. Dalam standar RSPO, penanaman kelapa sawit di lahan gambut dilarang dan dinilai tidak memenuhi standar. Sebaliknya, ISPO masih memperbolehkan penanaman kelapa sawit di lahan gambut dengan batasan tertentu.

Apek lain yang tidak kalah penting adalah ketertelusuran produk kelapa sawit yang masih menjadi tantangan saat ini. Syarat ketertelusuran (traceability) produk sawit pada RSPO bermula sejak dari mill,  atau pabrik pengolahan tandan buah segar hingga produk yang mengandung kelapa sawit di dikonsumsi konsumen akhir. Sementara itu, ISPO melengkapi ketertelusuran ini sejak dari perkebunan hingga ke pabrik pengolahan tandan buah segar.

Oleh karenanya, Pablo menilai bahwa harmonisasi ISPO dengan RSPO ini akandapat mendorong indursti kelapa sawit Indonesia menjadi lebih berkelanjutan.

Harmonisasi ISPO-RSPO sebagai Pendorong Industri Kelapa Sawit Lebih Berkelanjutan

Menanggapi paparan Pablo, Dr. Prayudi Syamsuri, SP., M.Si - Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian menilai, dua standar keberlanjutan komoditas kelapa sawit yang saat ini ada di Indonesia memiliki fundamental tujuan yang sama. Prayudi menegaskan, bahwa tujuan kedua standar ini adalah untuk mendapatkan kepercayaan publik, baik dalam skala nasional dan global terhadap industri kelapa sawit Indonesia saat ini.

Pada kesempatan yang sama, Prayudi menegaskan, tidak perlu mempertentangkan antara ISPO dan RSPO, keduanya dapat berjalan beriringan. Senada dengan hal tersebut, Imam A El Marzuq - Senior Manager Global Community Outreach & Engagement, RSPO menilai, bahwa hadirnya ISPO menjadi salah satu inisiatif negara terhadap komitmen keberlanjutan dan fokusnya terhadap industri kelapa sawit Indonesia. Imam juga menambahkan, kedua standard ISPO dan RSPO sama-sama menempatkan petani swadaya sebagai prioritas untuk mencapai tujuan keberlanjutan masing-masing.

Hal yang sedikit berbeda diungkapkan oleh Bandung Sahari - Bidang Sustainability, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. Meurut perspektif pengusaha, berbagai standar keberlanjutan yang disyaratkan pengusaha di industri kelapa sawit saat ini sangat beragam, selain ISPO dan RSPO, ada pula ISCC (International Sustainability and Carbon Certification) yang juga harus dilakukan audit secara berkala. Ia menilai, jika seluruh standar keberlanjutan ini dapat diharmonisasi dengan satu skema sertifikasi, akan memudahkan proses sertifikasi dan memangkas ongkos sertifikasinya.

Petani Swadaya dan Tantangan Keberlanjutan Industri Kelapa Sawit Indonesia

Mansuetus Darto - Sekretariat Jenderal Nasional, Serikat Petani Kelapa Sawit memaparkan tangggapannya dari perspektf petani swadaya. Darto menjelaskan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh petani swadaya di lapangan dalam praktik perkebunan berkelanjutan. Darto menilai, petani swadaya masih menggunakan cara-cara lama dalam parktik perkebunannya, seperti dalam pembukaan lahan dan pemberian dosis pupuk yang tidak sesuai, sehingga dapat dikatakan tidak ramah lingkungan.

Tantangan selanjutnya yang dihadapi petani swadaya adalah persoalan kelembagaan. Darto menilai, ada ketidakpercayaan diantara petani untuk membentuk kelompokdan organsiasi, sehingga timbul kekhawatiran bahwa dana yang dikelola oleh pengurus justru akan disalahgunakan. Lebih lanjut, Darto menekankan bahwa petani kelapa sawit swadaya di Indonesia masih membutuhkan support secara finansial untuk melakukan praktik pertanian berkelanjutan. Ia menekankan mahalnya biaya sertifikasi keberlanjutan, terutama berbagai studi yang harus dilakukan dalam proses pemenuhan standar.

------------------------
 Artikel dituliskan oleh Mukhammad Faisol Amir

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) merupakan lembaga penelitian independen, nirlaba, dan non-partisan yang mengadvokasi reformasi kebijakan melalui penelitian dan analisis kebijakan berbasis data. Cari tahu lebih dalam di sini.