DE

Hari Pangan Sedunia
Diskusi Hari Pangan Sedunia: Bersatu dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Indonesia

Hari Pangan Sedunia
©  iStock/Mediterranean

Hari Pangan Sedunia yang diperingati tiap 16 Oktober seharusnya dapat menjadi simbolis keberhasilan negara-negara dalam mewujudkan ketahanan pangan. Nyatanya, masih banyak pekerjaan yang belum terselesaikan.

Food and Agricultural Organization (FAO) menyatakan bahwa prevalensi kerawanan pangan parah meningkat dari 2,4% di tahun 2019 menjadi 11,7% di tahun 2021. Mengacu pada data tersebut, diperkirakan sebanyak 16,7 juta penduduk Indonesia akan mengalami rawan pangan tingkat sedang atau berat selama tahun 2022. Di tahun ini, Global Food Security Index (GFSI) menempatkan ketahanan pangan Indonesia pada urutan ke-63 diantara 113 negara lainnya, tertinggal jauh dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN, yaitu Singapura (ke-28), Malaysia (ke-41), dan Vietnam (ke-46).

Menanggapi hal tersebut, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengadakan Talkshow Hari Pangan Sedunia 2022 dengan tema “Tantangan Mewujudkan Ketahanan Pangan di Indonesia”. Diskusi yang dimoderatori oleh Azizah Fauzi, Peneliti Muda CIPS, ini diharapkan mampu membahas secara menyeluruh tantangan ketahanan pangan di Indonesia dengan menghadirkan tiga perspektif penting; peneliti, praktisi lapangan, dan sektor swasta. Ketiga pembicara yang hadir di antaranya; 1) Muhammad Nuruddin (Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia), 2) Aditya Alta (Peneliti, Center for Indonesian Policy Studies), dan 3) Ribut Purwanti (Head of External Affairs, Unilever Indonesia).

Hari Pangan Sedunia

(Moderator bersama ketiga narasumber diskusi)

© CIPS

Kompleksitas Isu Ketahanan Pangan

Aditya Alta membuka diskusi dengan memaparkan gambaran umum isu ketahanan pangan di Indonesia. Menurutnya, saat ini produktivitas lahan masih cenderung stagnan untuk sebagian besar komoditas seperti padi, kedelai, dan bawang merah. Aspek ketersediaan memang sering kali menjadi yang paling diperhatikan ketika membicarakan isu ketahanan pangan. Padahal, ada banyak dimensi lain yang tidak kalah pentingnya.

Misalnya dari segi pemanfaatan dan efektivitas produksi, jika dibandingkan, lahan di pulau Jawa lebih produktif dibandingkan di luar pulau Jawa. Meski demikian, diversifikasi komoditas bernutrisi di Indonesia masih rendah. Ini ditandai dengan keragaman asupan masyarakat yang masih didominasi oleh pangan tinggi karbohidrat. Selain itu, dari segi keterjangkauan akses, disoroti bagaimana hasil produksi ini dapat dijangkau hingga ke rumah tangga. Masih ada pula dimensi keberlanjutan hingga kebebasan individu untuk menentukan pilihan makanannya tanpa terbebani oleh kebijakan tertentu.

Aditya menegaskan, dengan kompleksnya dimensi dan banyaknya aktor yang terlibat untuk mewujudkan ketahanan pangan, maka akan cukup sulit untuk memuaskan keseluruhannya. Dalam beberapa hal, yang menguntungkan bagi salah satu aktor mungkin akan merugikan aktor lainnya.

Kondisi Produktivitas Pangan dan Dampaknya terhadap Sektor Industri

Sektor industri merupakan salah satu yang juga sangat bergantung pada ketersediaan pangan sebagai bahan baku produk. Ribut Purwanti menyebutkan bahwa tantangan bagi pihak swasta adalah tingginya permintaan konsumen yang tidak selaras dengan ketersediaan komoditas, misalnya dalam pemenuhan kedelai hitam, gula kelapa, dan teh.

Baik kedelai hitam atau pun gula kelapa, keduanya bukanlah komoditas yang diminati oleh petani. Program pemerintah sendiri lebih berfokus pada kedelai kuning dibandingkan kedelai hitam. Sementara komoditas gula kelapa lambat laun mulai ditinggalkan petani karena memiliki resiko tinggi dan dianggap kurang mensejahterakan. Pihaknya kemudian menjalin kerjasama dengan salah satu universitas untuk menghasilkan kedelai hitam (Malika), serta akan meninjau hal yang dapat dilakukan sektor swasta untuk dapat mendukung peningkatan produktivitas komoditas tersebut.

Tantangan Petani di Lapangan

Sebagai aktor utama yang terlibat dalam mendukung perwujudan ketahanan pangan, Muhammad Nuruddin mewakili Aliansi Pertanian Indonesia berpendapat bahwa, petani Indonesia tidaklah sama dengan petani-petani dari negara besar seperti Amerika Serikat. Meskipun sudah ada upaya modernisasi, kohesi sosial petani masih kuat. Akses terhadap lahan di desa masih menggunakan pendekatan komunitarian dan mekanisme sosial desa, sehingga sering kali digitalisasi pertanian justru mengancam kesejahteraan petani kecil.

Nuruddin juga menyebutkan bahwa sejatinya masyarakat Indonesia ini menggunakan pendekatan etnobotani. Tidak semua masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras dan terdapat tanaman atau pangan lokal lain yang telah dikonsumsi secara turun temurun. Namun karena adanya penyeragaman pangan nasional pada beras, beberapa daerah di Indonesia kini termasuk dalam kategori tertinggal pada produktivitasnya. Hal ini karena tidak semua wilayah di Indonesia efektif untuk ditanami padi. Selain itu, kebijakan beras di Indonesia juga masih menggunakan single-price. Menurutnya, praktik politik yang demikian justru mengakibatkan ketidaksejahteraan petani. Nuruddin berpendapat bahwa perlu ada subsidi di sisi konsumen untuk mengatasinya.

Tantangan selanjutnya ada pada akses lahan. Menurut Nuruddin, selama ini desa telah menjadi bantalan ekonomi dan sosial pada krisis suatu negara. Meskipun demikian, masih banyak petani yang justru tidak memiliki lahan ataupun akses terhadap lahan. Ia berpendapat bahwa perlu ada adaptasi melalui reforma agraria mengenai hukum pertanahan di Indonesia karena kesenjangannya sudah sangat lebar.

Aditya pun menambahkan daftar tantangan lain, bahwa berdasarkan temuan awal dalam penelitian yang dilakukan CIPS, kesejahteraan petani cenderung memiliki kaitan yang erat dengan diversifikasi pendapatan, yang mana masalah tersebut dapat ditanggulangi dengan melakukan variasi komoditas yang ditanam, maupun dengan melakukan kegiatan lain diluar pertanian. Selain itu, pembangunan pedesaan yang masih naik-turun rupanya sangat mempengaruhi pola adaptasi dan penghidupan petani.

Mewujudkan Ketahanan Pangan di Indonesia

Dengan kompleksitas masalah yang dihadapi untuk mewujudkan ketahanan pangan, pembicara memberikan ragam pandangannya untuk memitigasi risiko. Nuruddin menyebut bahwa bantuan ke desa dari kementerian dan lembaga terkait sudah turun, namun menurutnya Harga Pembelian Pemerintah (HPP) masih perlu ditinjau kembali. Ribut pun mengatakan bahwa saat ini pihaknya membutuhkan bantuan para pakar untuk memetakan permasalahan. Dengan demikian pihak swasta dapat melakukan kerjasama dengan mitra strategis untuk menyelesaikan tantangan yang ada. Unilever selaku sektor swasta juga siap memberikan dukungan untuk memastikan ketersediaan bahan baku industri kedepannya.

Melengkapi hal tersebut, Aditya menggarisbawahi bahwa dukungan dan bantuan sebenarnya sudah banyak berdatangan baik dari pemerintah maupun swasta. Menurutnya, yang perlu ditingkatkan kini adalah pemetaannya, sehingga bantuan tersebut tidak tumpang tindih satu sama lain.

—------------------------
 Artikel dituliskan oleh Farah Sahila Wahyuni

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) merupakan lembaga penelitian independen, nirlaba, dan non-partisan yang mengadvokasi reformasi kebijakan melalui penelitian dan analisis kebijakan berbasis data. Cari tahu lebih dalam di sini.