DE

International Academy for Leadership
Memahami Dasar Masyarakat Terbuka

IAF Seminar "Foundations of Open Societies", Gummersbach, 14 - 25 Oktober 2018
Peserta Seminar IAF "Foundations of Open Societies"
Peserta Seminar IAF "Foundations of Open Societies" © FNF Indonesia

Bulan Oktober lalu, tepatnya pada 14-25 Oktober 2018, saya mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam acara seminar International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh Friedrich Naumann Foundation (FNF) di kota Gummersbach, Jerman. Acara ini memang acara rutin yang diselenggarakan hampir setiap bulan oleh FNF dan diikuti oleh peserta dari berbagai belahan dunia. Dalam hal ini, saya merupakan wakil dari Indonesia yang dinominasikan oleh Suara Kebebasan sebagai salah satu organisasi mitra FNF di Indonesia.

Dalam seminar tersebut, tema yang dibahas adalah mengenai dasar dari masyarakat terbuka (Foundations of Open Society). Open Society sendiri merupakan istilah yang dipopulerkan oleh filsuf liberal kelahiran Austria, Karl Popper, dan merupakan bagian dari visi liberalisme terhadap masyarakat. Salah satu karakteristik penting dari masyarakat terbuka adalah pengakuan terhadap kedaulatan individu serta perlindungan terhadap hak dan kebebasan individual yang dimiliki oleh setiap manusia. Untuk itulah, toleransi terhadap keberagaman, baik keberagaman agama, ras, serta etnis merupakan nilai-nilai yang wajib dijunjung tinggi.

Akan tetapi, akhir-akhir ini, gagasan mengenai open society mendapatkan banyak tantangan, baik dari spektrum politik kiri maupun kanan. Di sisi kanan, naiknya kelompok-kelompok populis sayap kanan yang anti keberagaman merupakan hal yang patut untuk dikhawatirkan. Salah satu dari puncak dari fenomena tersebut adalah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat pada akhir tahun 2016 lalu, dimana ia mengusung platform anti imigrasi serta mendapat dukungan dari kelompok-kelompok supermasi kulit putih.

Tidak hanya di Amerika Serikat, berbagai negara Eropa juga mengalami fenomena yang serupa. Di Hungaria dan Italia, kelompok populis sayap kanan mendapatkan kekuasaan di bawah pimpinan Viktor Orban dan Matteo Salvini yang anti imigran dan kelompok etnis minoritas. Di Perancis dan Belanda, parta-partai populis sayap kanan juga mendapatkan suara yang meningkat pesat. Ketua dan pendiri Partai Untuk Kebebasan Belanda (Partij voor de Vrijheid / PVV) Geert Wilders, yang anti Islam dan anti imigran menjadi pemimpin oposisi di parlemen. Pada pemilihan presiden Perancis pada tahun lalu, pimpinan Partai Front Nasional, Marine Le Pen, yang juga anti imigran dan anti Uni Eropa, mendapat suara terbanyak kedua setelah presiden Perancis saat ini, Emmanuel Macron.

Sementara itu, kelompok-kelompok kiri ekstrim semakin mendapatkan posisi, terutama di wilayah akademis. Kejadian pengusiran paksa terhadap tokoh-tokoh konservatif yang ingin menggelar acara di berbagai universitas di Amerika Serikat dan Eropa bukan lagi hal yang sulit untuk ditemui. Tidak hanya tokoh sayap kanan, bahkan tak sedikit akademisi yang berafiliasi dengan gerakan kiri pun yang juga mengalami pengusiran hingga kekerasan fisik dikarenakan memiliki pandangan berbeda terhadap hal tertentu dengan para akademisi yang berhaluan kiri ekstrem.

Meningkatnya fenomena tersebut tentu merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh liberalisme yang mengadvokasi adanya masyarakat terbuka, dan isu di atas merupakan salah satu isu utama yang dibahas di dalam seminar IAF bulan lalu.

*****

IAF seminar kali ini difasilitasi oleh 2 orang akademisi, yakni yang pertama adalah akademisi lulusan Cambrige, Dr. Stefan Melnik, yang juga pernah bekerja untuk FNF dari tahun 1980 - 1987 yang memiliki fokus di bidang sejarah, khususnya sejarah ekonomi dan sosial. Fasilitator kedua adalah Sven Gerts, yang merupakan seorang kandidat PhD untuk bidang filsafat politik di Universitas King's College London.

Sehubungan dengan tema masyarakat terbuka yang dibahas dalam seminar ini, setidaknya ada 5 topik utama yang menjadi pokok bahasan. Pertama, mengenai konsep masyarakat terbuka itu sendiri, yakni syarat-syarat apa yang dibutuhkan untuk menjamin adanya masyarakat terbuka. Kedua, perdebatan wacana dalam diskursus demokrasi liberal terkait dengan hak sipil dan politik, demokrasi langsung dan representatif, serta desentralisasi dan sentralisasi kekuasaan.

Topik ketiga berfokus pada konsep pluralisme dan toleransi yang merupakan elemen penting yang harus hadir di dalam masyarakat terbuka, perdebatan mengenai batas-batas toleransi yang dapat diterima seperti ujaran kebencian, serta ancaman populisme terhadap masyarakat bebas. Topik keempat terkait dengan dimensi ekonomi, yakni mengenai sistem ekonomi pasar bebas dan masyarakat terbuka. Sementara topik terakhir berfokus pada topik mengenai sains dan kemajuan, serta tradisi masa pencerahan (Enlightenment) di Eropa dalam perkembangan gagasan masyarakat terbuka.

Sehubungan dengan hal tersebut, banyak hal yang menarik yang menjadi perhatian saya, terutama dengan hal-hal yang terkait dengan perdebatan dalam wacana liberalisme dan masyarakat bebas. Diskusi pun dilangsungkan secara kondusif, partisipatif, serta bersifat kasual dan tidak formal dengan menggunakan berbagai metode diantaranya focus group discussion dan kelompok debat. Terkait dengan demokrasi representatif vs langsung misalnya, saya pribadi berada di sisi yang mendukung praktik demokrasi representatif sebagai cara untuk menjaga kelangsungan masyarakat terbuka. Argumen saya yang utama adalah bahwa demokrasi langsung akan membuka pintu lebar untuk datangnya tirani mayoritas.

Namun, kawan saya yang berada di sisi lain memiliki pandangan berbeda, dan ia menyatakan bahwa demokrasi merupakan elemen penting di dalam masyarakat bebas dimana rakyat berada di kekuasaan tertinggi, dan sistem yang paling bisa mewujudkan demokrasi yang sebenarnya adalah dengan menggunakan sistem demokrasi langsung. Dalam sistem demokrasi representatif, belum tentu wakil rakyat yang dipilih akan mewakili suara rakyat yang memberinya mandat.

Diskusi yang intens bukan hanya terjadi dalam topik demokrasi, namun juga mengenai batas-batas toleransi dalam masyarakat terbuka. Penggagas masyarakat terbuka, Karl Popper misalnya, memperingatkan bahwa toleransi terhadap kelompok intoleran akan mengakibatkan hancurnya toleransi itu sendiri.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam aspek kebebasan berbicara isalnya, saya sendiri berpandangan bahwa kebebasan berbicara merupakan sesuatu yang harus dilindungi dan dibuka sebebas-bebasnya dan satu-satunya batas dari kebebasan berbicara adalah perkataan tersebut berbentuk ancaman untuk melukai orang lain.

Namun menentukan apakah suatu pernyataan merupakan ancaman atau tidak bukanlah hal yang mudah, dan disinilah saya dan kawan-kawan grup diskusi saya berdiskusi dengan tajam. Perdebatan awal terntu adalah apakah definisi dari ancaman itu sendiri, dan apakah semua bentuk ancaman dapat diperlakukan sama atau ada tingkatan yang berbeda, dan tentu saja bagaimana kita bisa memastikan kalau definisi ancaman yang digunakan untuk menindak orang lain tidak dapat disalahguanakan oleh pemerintah untuk membungkam kritik dan mengebiri kebebasan berekspresi.

Terkait dengan isu ekonomi, kami juga berdiskusi mengenai apakah sistem ekonomi pasar bebas meruapakan sistem ekonomi yang sejalan dengan gagasan masyarakat terbuka. Peserta yang memiliki pandangan libertarian, termasuk diantaranya saya sendiri akan menyetujui pernyataan tersebut, karena sistem ekonomi pasar bebas merupakan satu-satunya sistem yang melindungi hak kepemilikan pribadi, serta merupakan sistem yang paling efisien dalam mengalokasikan sumber daya.

Di sisi lain, ada juga peserta yang memiliki pandangan berbeda dan menyatakan bahwa sistem pasar bebas yang diterapkan secara penuh tanpa adanya peran negara sedikitpun dapat menimbulkan ancaman baru bagi masyarakat bebas. Dalam situasi tersebut, besar kemungkinan akan banyak pengusaha dan pekerja di dalam negeri yang kehilangan pekerjaan karena tidak mampu bersaing dengan pengusaha dan pekerja dari luar negeri. Hal tersebut berpotensi akan menguatkan kelompok dan partai politik populis untuk mendapatkan kekuasaan.

Selain di Gummersbach, peserta juga mendapat kesempatan untuk mengunjungi Bonn dan Koln selama satu hari dan Berlin selama empat hari. Di Bonn kami bertemu dengan Dr. Hidir Celik yang mengelola lembaga advokasi pengungsi dan imigran, dimana Dr. Celik memberikan bantuan kepada imigran untuk dapat berintegrasi dengan masyarakat Jerman yang tentu memiliki perbedaan kultur dan budaya.

Sebagai penutup, saya sangat beruntung dan berterima kasih kepada FNF Indonesia dan Suara Kebebasan yang sudah menominasikan saya, sehingga saya mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam acara IAF bulan Oktober ini. Saya sudah lama memang sangat tertarik pada dunia gagasan dan tema yang diangkat dalam seminar IAF yang saya ikuti memang sangat cocok dengan passion saya tersebut.

Melalui seminar tersebut, saya mendapat banyak pengetahuan baru, bukan hanya dari fasilitator, namun juga melalui diskusi dengan peserta-peserta lain dari berbagai belahan dunia tentang gagasan masyarakat terbuka dari sudut pandang mereka berdasarkan masing-masing pengalaman yang mereka alami. Hal tersebut termasuk diantaranya berbagai persoalan dan tantangan yang dialami masing-masing peserta dalam mempromosikan gagasan masyarakat terbuka di negaranya masing-masing.

Namun di tengah perbedaan tersebut, saya menemukan benang merah yang sama dari setiap peserta yang hadir dalam seminar tersebut, yakni kita semua menginginkan masyarakat dan negara yang kita tinggali menjadi semakin terbuka terhadap perbedaan, toleran terhadap keberagaman, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan kemanusiaan.

*Artikel ini adalah tulisan dari delegasi IAF asal Indonesia, Haikal Kurniawan sebagai Contributor/Regular Writer di suarakebebasan.org (Voices of Freedom). Tulisan ini pertama kali dipublikasikan oleh SuaraKebebasan.org. Dapat dilihat melalui tautan berikut: https://suarakebebasan.org/id/cerita/item/983-pengalaman-mengikuti-iaf-…