DE

International Academy for Leadership
Jadi Populer, Cara Melawan Populis

IAF Seminar: Liberalism vs Populism

Di tengah hiruk pikuk Virus Corona yang merebak, perjalanan internasional mungkin jadi salah satu kegiatan terakhir yang dilakukan. Tetapi, ada “virus” yang juga berbahaya bagi kebebasan individu dan demokrasi di seluruh dunia, yaitu populisme. Sebanyak 20 peserta dari 17 negara mengesampingkan kesehatan (sambil tetap berjaga-jaga memakai masker dan rajin mencuci tangan) untuk terbang ke Jerman untuk menghadiri 12 hari Seminar International Academy for Leadership (IAF) Liberalism Vs Populism: Recreating the Liberal Story, di Gummersbach.

Jadi apa itu populisme? Kenapa berbahaya bagi masyarakat? Lalu, bagaimana kita bisa mengalahkannya atau bahkan mencegahnya? Simak di artikel berikut yang saya rangkum dari seminar yang difalisilitasi oleh Sven Gerst, kandidat PhD Filsafat Politik dari King’s College London dan Radu Magdin, pakar komunikasi politik dari Hungaria.

Populisme, Banyak Makna dan Persona

Saat kolega bertanya tentang topik seminar yang saya ikuti, judulnya saja sudah membuat kening berkerut. Apalagi mereka yang bukan dari kalangan yang tidak memiliki latar belakang politik. Tapi, siapa yang menyangka bahwa populis atau populisme itu sendiri telah hadir di sekeliling kita, di Indonesia, dan banyak negara di dunia. Misalnya munculnya Donald Trump, atau tokoh-tokoh politik yang lain yang memiliki agenda mengarah kepada eksklusivitas sebuah komunitas.

Populisme sendiri sulit didefinisikan, sebab tergantung dengan kondisi politik di negara tersebut. Menurut tulisan How to beat Populists yang diterbitkan oleh FNF, populis adalah sebuah ideologi yang memiliki konotasi sebuah jalan demokrasi untuk membangun dukungan populer - pada dasarnya kekuatan untuk mobilisasi rakyat dan untuk pengembangan model masyarakat komunitarian dan nasionalistik melalui demonisasi kelompok-kelompok lain, seringkali minoritas. Dari banyaknya definisi, ada karakterstik yang mencirikan populis yang banyak disepakati, seperti berikut ini:

  • Kita Vs. Mereka, Populis cenderung membedakan kelompok mereka dengan kelompok yang berseberangan. Misalnya: rakyat vs. elit, religius vs. liberal, pribumsi vs. pendatang, dll.
  • Menyederhanakan Masalah, mereka cenderung memberikan solusi sederhana atas masalah yang sebenarnya kompleks. Misalnya: hukuman mati untuk para penjual dan pecandu narkoba di Filipina atau membangun tembok untuk mengatasi masalah imigran gelap di Amerika Serikat.
  • Anti-Keberagaman, cenderung “menjelekkan” sesuatu atau komunitas tertentu denga tujuan polarisasi
  • Ketokohan, biasanya memiliki tokoh atau pemimpin yang dianggap sebagai “pahlawan” atau care taker.

Jadi siapa yang bisa disebut populis? Berikut adalah nama-nama yang muncul saat seminar, dan sesuai dengan karakteristik di atas: Donald Trump (Amerika Serikat), Rodrigo Duterte (Filipina), Marine Le Pen (Perancis), Viktor Orban (Hugaria), dan Recep Tayyip Erdoğan (Turki). Namun, beberapa juga perlu diperdebatkan seperti Vladimir Putin (Rusia), Bernie Sanders (AS), Joko Widodo (Indonesia) dan Mahatir Muhammad (Malaysia).

 

IAF Seminar, Liberalism vs Populism
© FNF Indonesia

Kenapa Liberalisme Kalah?

Mengapa populis merajalela dan liberal kalah saing? Selain faktor dari luar atau tokoh-tokoh populis yang karismatik dan strategi politik mereka yang kuat, faktor dari dalam alias liberal juga menjadi masalah utama. Pertama, liberal terlalu berjarak dengan audiensnya. Hal ini bisa diperlihatkan dari  satu sesi seminar IAF, ada satu sesi berjudul ArtLab di mana para peserta melukiskan pandangan mereka tentang Liberalisme dan Populisme. Dari hasil lukisan yang dibuat dari berbagai macam aliran tersebut, terlihat perbedaan yang mencolok. Pertama, liberalisme dipandang sebagai ideologi yang kurang membumi dan abstrak.

Kedua adalah munculnya liberal pemalas atau liberal yang naif. Mereka bisa jadi adalah kita yang tidak speak up saat ada ketidakadilan muncul, atau pelanggaran kebebasan atas individu hadir. Seringkali kita berlindung dibalik nilai-nilai kebebasan itu sendiri atau toleran terhadap yang intoleran. Ketiga, banyak juga dari liberal yang mendukung para populis ini. Lagi-lagi karena alasan persamaan nilai kebebasan yang kadang dibawa juga oleh para populis.

Untuk mengatasi hal ini, di seminar IAF kemarin. Fasiliator mengajak para peserta untuk memikirkan kembali nilai-nilai liberalisme dan mencoba membuat prioritas. Mana yang jadi utama yang harus dibela dan dijaga.

IAF Seminar, Liberalism vs Populism
© FNF Indonesia

Cara Menjadi Populis Populer

Lalu bagiamana liberal bisa mengalahkan populis? Komunikasi adalah senjata para populis untuk mendapatkan dukungan dan liberal jauh kalah dibanding mereka. Untuk itu kita harus menjadi komunikator yang mengerti dengan siapa yang kita berkomunikasi (target) dan cerita (konten) dengan tepat. 

Bukan berarti kita harus mengikuti cara-cara populis, dalam seminar ini kita didorong untuk menjadi diri sendiri alias Liberal yang Populer. Caranya? Kita bisa melihat film-film hollywood bekerja. Berikut beberapa poin dari seminar yang bisa kita gunakan dalam membuat sebuah cerita sendiri:

  • Simpel, gunakan bahasa atau cerita mudah diterima oleh target dan jelas
  • Konkret, menggunakan contoh atau cerita yang sering ditemui di masyarakat
  • Kredibel, dapat didukung bukti dan data
  • Emosi, dapat menggugah perasaan peduli seseorang
  • Cerita, menggunakan konten yang memaparkan sebuah kisah

Tapi, cerita seperti apa yang bisa gunakan? Dalam seminar ini, fasilitator menekankan untuk menggunakan cerita personal di mana di dalamnya ada perjuangan dan perubahan, misalnya dari zero to hero. Kembali lagi, kita bisa belajar dari film-film populer yang dapat dengan mudah menggugah emosi penontonnya. Walaupun begitu, bukan berarti liberal harus membuat film. Media dari cerita ini bisa berbagai macam, misal video pendek, rilisan pers, opini di koran, media sosial, newsletter,  atau podcast. Lagi-lagi kita harus melihat siapa target kita untuk menentukan medianya.

Populis mudah menyebar seperti virus. Mari menjadi populer untuk mengatasinya!

 

*Artikel ini adalah tulisan dari delegasi IAF asal Indonesia, Eky Triwulan Kusumaningrum yang bekerja sebagai Communicatios Officer di Center for Indonesin Policy Studies (CIPS).