DE

Ekonomi Indonesia
Simplifikasi Kebijakan Non-Tarif Komoditas Pangan dapat Mengurangi Angka Kemiskinan

Simplifikasi Kebijakan Non-Tarif Komoditas Pangan dapat Mengurangi Angka Kemiskinan
© Dikaseva from Unsplash 

Selama pandemi Covid-19, angka kemiskinan telah meningkat menjadi 10,19 persen. Risiko kekurangan pangan dan gizi pun meningkat, sehingga berdampak kepada kesehatan masyarakat.

Sebelum pandemi, lebih dari sepertiga orang Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan nutrisi dan gizi mereka karena harga yang tidak terjangkau.

Kemiskinan dan kebutuhan pangan menjadi suatu siklus. Belanja kebutuhan pangan menghabiskan hampir setengah dari pengeluaran rata-rata orang Indonesia, sehingga berkontribusi terhadap tingkat kemiskinan.

Diperkirakan bahwa untuk setiap kenaikan 1% harga, angka kemiskinan nasional meningkat satu persen. Sebaliknya, masyarakat berpendapatan rendah pun kesusahan mengakses makanan.

Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, pengurangan kebijakan non-tariff measures (NTM) atau hambatan non-tarif dapat mendukung upaya pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan dan meningkatkan berbagai indikator kesehatan dan gizi.

Kebijakan non-tarif adalah kebijakan selain tarif yang diterapkan pada perdagangan, sehingga berdampak kepada jumlah maupun biaya perdagangan.

Berhubung pasar pangan internasional adalah salah satu sumber pangan penting bagi Indonesia, kebijakan non-tarif atasnya menjadi salah satu kontributor dari harga pangan yang tinggi.

Pada  2020, sebanyak 466 kebijakan non-tarif diterapkan pada komoditas di bidang pangan dan pertanian.

Marks pada 2017 menghitung bahwa implementasi NTM pada beras menghasilkan efek yang setara dengan tingkat perlindungan nominal 67,2 persen, sedangkan NTM pada daging menghasilkan efek yang setara dengan tingkat 37,4 persen.

Sebagian besar perbedaan harga dapat dikaitkan dengan pembatasan atau kuota kuantitatif.

Contoh-contoh kebijakan NTM diantaranya adalah kuota, lisensi, peraturan dan persyaratan label, kontrol harga, dan langkah-langkah anti persaingan.

Kebijakan NTM dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk, termasuk tindakan Sanitary dan phytosanitary (SPS), hambatan teknis untuk perdagangan (TBT) dan inspeksi pra-pengiriman dan formalitas lainnya.

Felippa menambahkan, penerapan NTM pada perdagangan pangan berdampak besar bagi ketahanan pangan karena memengaruhi kualitas, kuantitas dan harga makanan yang dikonsumsi.

Penerapan NTM yang diharapkan dapat melindungi konsumen justru bisa merugikan konsumen dan mengancam ketahanan pangan Indonesia jika berlebihan. Penerapan NTM pada sektor pangan terbilang banyak kalau dibandingkan dengan sektor lainnya.

”Impor makanan di Indonesia dilakukan melalui sistem perizinan yang mengalokasikan kuota impor,” katanya.

Sistem perizinan dan kuota harus melalui sebuah proses di mana Kementerian Pertanian memberikan rekomendasi impor.

Kemudian Kementerian Perdagangan memberikan Surat Persetujuan Impor (SPI) beserta kuota impor yang diizinkan kepada importir tertentu setelah rapat koordinasi terbatas dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Pertanian untuk memutuskan impor.

Izin dan kuota impor ini, lanjutnya, dikeluarkan dengan mempertimbangkan data produksi, stok dan konsumsi.

Selain kuota dan lisensi impor, ada beberapa peraturan kesehatan dan teknis yang dikenakan pada produk makanan dari berbagai kementerian dan lembaga yang menambah waktu dan biaya impor.

Diperkirakan, penghapusan NTM pada komoditas pangan dan pertanian akan membantu menekan harga pangan di Indonesia, sehingga pengeluaran masyarakat untuk makanan juga akan berkurang.

Hal ini akan membantu keluarga untuk keluar dari kemiskinan. Penghapusan NTM pada beras akan memberikan dampak yang cukup besar, yaitu 2,52 persen.

Sementara itu penghapusan NTM pada daging berkontribusi mengurangi kemiskinan sekitar 0,21 persen. Penghapusan NTM untuk beras dan daging akan berdampak sebesar 2,83 persen.

Ketimpangan, yang diukur dengan koefisien Gini, juga diperkirakan akan turun jika NTM dihilangkan pada beras dan daging, yaitu sebesar 1,76 persen.

Penurunan ini lebih signifikan di pedesaan (2,5 persen) dibandingkan di perkotaan (0,98 persen). Selain itu, konsumsi pangan yang diukur dari pengeluaran beras dan daging akan meningkat.

“Perkiraan ini menggambarkan mengapa Indonesia harus mengurangi NTM pada pangan dan komoditas pertanian untuk mendukung upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan indikator gizi lainnya. Menghapus kuota dan beralih ke lisensi impor otomatis adalah dua perubahan yang diharapkan dapat menghasilkan keuntungan terbesar,” katanya.

“Liberalisasi perdagangan pangan harus dibarengi dengan meningkatnya persaingan antar importir, perbaikan sistem untuk memfasilitasi proses impor, dan inovasi kebijakan pertanian untuk meningkatkan daya saing produsen dalam negeri,“ terangnya.

Felippa melanjutkan, perdagangan pangan Indonesia dapat lebih diliberalisasi dengan menyiapkan sistem perizinan impor otomatis / automatic import licensing system.

Automatic import licensing system membuka kesempatan impor untuk importir terdaftar dan hanya dikelola untuk mengumpulkan informasi statistik dan faktual lainnya tentang impor, berdasarkan data WTO 2020.

Penggunaan sistem ini mengurangi berbagai penundaan akibat proses birokrasi dan menghilangkan peluang korupsi.

Automatic import licensing system tidak menghapus persyaratan SPS yang diperlukan yang menjamin kualitas dan keamanan pangan atau NTM teknis yang menjamin standar.

Yang akan dilakukan adalah memfasilitasi proses impor dengan mengizinkan importir untuk mengimpor kapan saja tanpa harus bergantung pada keputusan pemerintah.

Sistem perizinan impor otomatis akan menciptakan persaingan yang lebih besar antara importir untuk menguntungkan konsumen dan meningkatkan kesejahteraan secara keseluruhan.

Persaingan akan meningkat karena izin impor tidak lagi diberikan berdasarkan kebijaksanaan pejabat Kementerian, tetapi secara adil kepada importir terdaftar yang ingin memasuki pasar.

Namun, terdapat risiko bahwa hanya sedikit importir besar yang dapat memenuhi persyaratan administrasi dan teknis. Perdagangan yang kompetitif akan diperlukan agar tidak ada importir yang dapat mengontrol stok dan harga di Indonesia.

Hambatan masuk pasar bagi importir selama proses registrasi Nomor Pengenal Impor (API-U) dan Surat Persetujuan Impor (SPI) harus diturunkan agar lebih banyak importir dapat berpartisipasi dalam perdagangan pangan.

Artikel ini pertama kali terbit pada SinarHarapan.id