DE

ADVOCACY TRAINING
Pelatihan Advokasi Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi dalam Organisasi

Pelatihan Advokasi Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi dalam Organisasi

Hak Asasi Manusia (HAM) memiliki prinsip antidiskriminasi. Prinsip ini melarang dengan tegas praktik diskriminasi dan kekerasan atas dasar keunikan-keunikan manusiawi, sambil pada saat yang sama mempromosikan relasi antar-manusia yang mengapresiasi keberagaman, menjunjung kesetaraan, dan inklusif.

Selain rule of law, penegakkan norma-norma HAM dalam kehidupan bermasyarakat juga membutuhkan penguatan modal sosial, yang salah satunya adalah melalui peningkatan kapasitas anggota masyarakat dalam mengelola keberagaman ketika berhubungan dengan orang lain yang berbeda.

Karena itu, Pelatihan Advokasi Keberagaman, Kesetaraan dan Inklusi dalam Organisiasi dianggap perlu diadakan dalam upaya meningkatkan kapasitas peserta untuk memahami konsep dasar antidiskriminasi dan memiliki ketrampilan dalam mengelola organisasi berdasarkan prinsip kesetaraan, inklusivitas, dan ramah terhadap keberagaman.

Kata “organisasi” dalam tema pelatihan—yang diselanggarakan oleh Friedrich Naumann Foundation (FNF) Indonesia dan Lembaga INDEKS serta didukung oleh Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia pada Kamis-Sabtu, 25-27 Agustus 2022 di Bali—ini lebih spesifik pada institusi bisnis, pemerintahan, dan swadaya masyarakat.

 

“Kapasitas mengelola keberagaman dalam organisasi menjadi penting bukan hanya untuk merekatkan kohesi sosial di antara para anggota, tetapi juga untuk meningkatkan kinerja organisasi sesuai dengan visi, misi, dan tujuan yang ingin dicapainya,”

Ganes Woro Retnani (Program Officer FNF Indonesia) dalam sambutan ketika membuka kegiatan.

Ganes juga menyampaikan, kegiatan ini terselenggara karena FNF Indonesia memiliki komitmen untuk turut serta dalam mengembangkan gagasan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.

Pada awal kegiatan pelatihan, lead traineer Nanang Sunandar (Direktur Ekskutif Lembaga INDEKS) dengan didampingi co-traineer Mathelda Chris Titihalawa, Sukron Hadi dan M. Fathurrahman mengajak peserta pelatihan untuk lebih dalam memahami konsep dasar keberagaman (diversity), kesetaraan (equality-equity), dan Inklusi (inclusion); yang disingkat DEI. Sebagai informasi, pelatihan ini diikuti oleh 24 peserta terpilih dari 73 pendaftar. 24 peserta ini mewakili institusi bisnis, pemerintah dan NGO.

Dalam sesi itu Nanang menyampaikan bahwa keberagaman adalah fakta yang tak terhindarkan. Diskriminasi terjadi ketika keberagaman disikapi secara eksklusif terhadap individu-individu yang dianggap berbeda dan minoritas. “Keberagaman akan berakhir pada disintegrasi jika kita bersikap eksklusif, namun menjadi harmoni jika kita bersikap inklusif,” terang Nanang.

Individu bersikap diskriminatif dalam lingkup masyarakat ataupun organisasi tidak hanya dilakukan sepenuhnya sadar. Kata Nanang, diskriminasi justru seringnya muncul dari unconscious bias atau bias yang tak disadari. Dari unconscious bias ini kemudian lahir tindakan-tindakan yang juga tidak disadari diskriminatif. Misalnya, micro-aggressions dalam bentuk micro-insults, micro-assaults dan micro-invalidations.

Dalam tiga kelompok kecil, peserta diajak untuk mengidentifikasi serta memitigasi tindakan-tindakan micro-aggressions yang umumnya terjadi pada isu-isu sensitif seperti gender, agama, dan abilitas; baik yang terjadi di institusi ataupun masyarakat.

Selain mendapatkan pemahaman dasar dari traineer, peserta juga dibekali pemahaman dasar dari tiga narasumber lain. Narasumber Atikah Nuraini (Asia Justice and Rights—ICJR) memaparkan materi “Diskriminasi sebagai persoalan HAM”; Taka Gani (Asosiasi Living Values Education) membawakan materi “Komunikasi Nir-Kekerasan”; dan Anintyas Wening (Brown Bag Films) membawakan materi “Implementasi DEI dalam Tata Kelola Organisasi”.

Pemahaman dasar terkait DEI itu menjadi pijakan bagi peserta untuk dibawa oleh Nanang Sunandar untuk masuk pada sesi-sesi aplikatif dan ketrampilan seperti sesi “Visualisasi Organisasi yang Ramah Keberagaman, Setara, dan Inklusif” dan sesi “Advokasi DEI dalam Organisasi”.

Dua sesi terakhir ini dihadirkan untuk tujuan agar 24 peserta setelah mengikuti pelatihan ini memiliki bekal ketrampilan untuk menghidupkan dan mengadvokasi DEI di lingkungan dan institusi mereka masing-masing.

Dan memang, dalam sesi Rencana Tindak Lanjut, masing-masing peserta menyampaikan bahwa mereka memiliki rencana individual untuk mencoba mengaplikasikan di masing-masing institusi mereka terkait ketrampilan-ketrampilan yang mereka dapat dari pelatihan selama tiga hari itu.