DE

Hak Asasi Manusia
RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak dalam Perspektif Kesejahteraan dan Kebebasan

RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak

Saat ini Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) sedang menarik perhatian masyarakat Indonesia. Mengundang pro dan kontra. Hal itu disampaikan oleh Mathelda Titihalawa (Perkumpulan Lembaga INDEKS) selaku moderator dalam pembukaan Diskusi Publik Online bertajuk "Pro dan Kontra RUU KIA".

Kegiatan yang digelar pada Selasa, 26 Juli 2022 itu dilaksanakan atas kerja sama FNF Indonesia dan Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Lembaga INDEKS) serta didukung Kemeterian Hukum dan HAM (Kemenkumham RI).

Diskusi Publik Online "Pro dan Kontra Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak" yang diselenggarakan Lembaga INDEKS pada Selasa, 26 Juli 2022.

Diskusi Publik Online "Pro dan Kontra Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak" yang diselenggarakan Lembaga INDEKS pada Selasa, 26 Juli 2022.

Pro vs Kontra

Bagi pihak PRO, RUU inisiatif DPR RI ini mengatur beberapa pasal yang akan menjadi kabar gembira bagi perempuan pekerja di sektor formal. “Seperti masa cuti melahirkan menjadi 6 bulan bagi para ibu pekerja dan 40 hari bagi karyawan laki-laki yang istrinya melahirkan. Banyak juga poin-poin lain yang dianggap menguntungkan bagi para ibu pekerja," jelas Mathelda.

Adapun bagi pihak KONTRA, lanjut Mathelda, RUU KIA jika disahkan dikhawatirkan sejumlah pihak akan menjadi kabar buruk bagi iklim bisnis di Indonesia karena dapat mengurangi produktivitas tenaga kerja. Saat ini saja, belum ada UU KIA, tenaga kerja kita dinilai kurang bersaing dari sisi produktivitas jika dibanding negara-negara tetangga. Singkatnya, RUU ini akan membebani para pengusaha dan investor yang berperan membuka lapangan kerja.

RUU KIA dalam Lingkup Hak Asasi Manusia

Betni Humiras Purba (Direktur Instrumen HAM Kemenkumham RI) selaku narasumber diskusi ini menyampaikan bahwa pada pasal 28i Ayat 4 UUD 1945 dan UU 39 negara menjamin perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM). Perempuan dan anak masuk dalam kategori kelompok rentan. Maka diperlukan perhatian khusus.

Latar belakang dari RUU inisiatif DPR ini yaitu salah satunya terkait dengan angka kematian ibu dan dan anak yaitu 300/1000 angka kelahiran di tahun 2021. Adapun, menurut Betni, target pemerintah penurunan angka kematian ibu dan anak adalah 183/1000 angka kelahiran. Selain itu, standar penurunan angka stunting sebanyak 14% oleh pemerintah masih jauh dari tercapai karena kenyataannya hanya terjadi penurunan sekitar 0,7% setiap tahunnya.

Menurut Betni, ada 28 hak yang diatur dalam Permenkumham No 24 Tahun 2017 tentang pedoman muatan HAM dan 8 diantaranya ada dalam RUU KIA. “Beberapa di antaranya tentang perlindungan hak anak, perlindungan keluarga, persamaan antara laki-laki dan perempuan, penyandang disabilitas, pangan yang layak, standar kesehatan yang tinggi, jaminan sosial serta kondisi kerja yang layak,” beber Betni.

Betni menilai, berdasarkan pasal-pasal dalam RUU KIA jangka cuti yang panjang sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan finansial seseorang karena dianggap terlalu lama tidak bekerja. Beberapa klausal dalam RUU ini diharapkan untuk dikembangkan dan dijabarkan dengan lebih jelas sehingga implementasinya dapat berjalan sesuai dengan harapan. “Kami rasa sebagai bentuk tindak lanjut, ke depannya perlu ada rencana aksi nasional, agar lebih implementatif,” saran Betni.

Terkait fasilitas penunjang kesejahteraan ibu dan anak, Pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan HAM sudah mengimplementasikan pemenuhan sarana umum bagi ibu dan anak di ruang publik yang terkait Kemenkumham seperti penyediaan ruang laktasi di LAPAS.

Sebagai penutup, Betni menyarankan penjabaran teknis terkait klausal yang mengatur evaluasi RUU KIA. “Evaluasinya nanti juga diharapkan melibatkan Kementerian Kesehatan juga Komnas Perempuan dalam pelaksanaannya” imbuh Betni.

RUU KIA Perlu Dilihat Secara Holistik

Mewakili pihak yang memprakarsai RUU inisiatif DPR ini, Luluk Nur Hamidah (komisi IV, DPR RI) membuka pemaparannya dengan menegaskan bahwa RUU KIA ini telah disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dan masih dalam proses panjang sebelum benar-benar disahkan menjadi undang-undang.

“DPR saat ini masih menunggu SurPres (Surat Presiden) dan daftar isian masalah yang akan disusun oleh pemerintah,” ungkap Luluk. 

Lanjut Luluk, jangka waktu cuti yang diatur dalam RUU KIA dianggap penting karena sangat berpengaruh kepada menejemen stres sang ibu yang baru saja melahirkan. Kondisi mental yang stabil dari seorang ibu melahirkan akan sangat berpengaruh pada kondisi bayinya.

Pasal-pasal dalam RUU KIA menurut Luluk merupakan harmonisasi dari instrumen-instrumen lain yang mengatur tentang kesejahteraan ibu dan anak secara terpisah. Hal-hal yang diatur secara terpisah ini perlu disatukan agar dapat diimplementasikan dengan lebih terarah demi kesejahteraan ibu dan anak.

RUU KIA dianggap Luluk penting dilihat secara holistik dengan latar belakang yang kompleks terkait kesehatan mental maupun fisik ibu dan anak mulai dari waktu kehamilan sampai 1000 hari pertama pasca kelahiran.

Luluk menegaskan ulang terkait isu stunting yang menjadi salah satu latar belakang dibuatnya RUU KIA, jika tidak ditangani dengan pelibatan regulasi, maka, Indonesia masih akan memiliki anak-anak dengan stunting saat ulang tahun ke seratus nanti.

Kesejahteraan Ibu dan Anak Bersumber pada Kesejahteraan Ekonomi

Pemaparan Luluk di atas banyak disanggah oleh Iim Fahima sebagai perwakilan wirausaha perempuan yang membuka pemaparannya dalam diskusi ini dengan menekankan pada kesejahteraan ekonomi bagi perempuan. Iim menegaskan, “Kesejahteraan perempuan memberi dampak yang besar pada kesejahteraan anak dan semua kesejahteraan itu berangkat dari kesejahteraan ekonomi.”

Iim melanjutkan, studi di India menunjukkan bahwa saat kesejahteraan ekonomi meningkat maka kesejahteraan perempuan juga mengalami peningkatan drastis. Mulai dari angka pernikahan usia dini yang menurun, angka kematian ibu dan bayi, juga keinginan orang tua untuk berinvestasi pada Pendidikan anak-anak perempuan dalam jangka panjang.

Iim menilai, perempuan yang berdaya secara ekonomi akan mendapatkan kesempatan untuk berpendidkan tinggi, punya rasa percaya diri yang tinggi, mampu mengambil keputusan, dan berpartisipasi dalam politik.

Tantangan Perempuan Masa Kini

Di sisi lain, tantangan perempuan di dunia kerja lebih berat daripada laki-laki. Secara umum, ketersediaan pendidikan lebih rendah dibanding laki-laki. Faktor sosial, budaya dan tafsir agama yang partiarki juga sangat berpengaruh sebagai tantangan perempuan berkembang di dunia kerja.

“Tantangan terbaru bagi perempuan adalah industry 4.0. Secara umum perempuan sudah cukup kalah dari laki-laki dalam hal teknologi 4.0 karena strata pendidikan. Maka menjauhkan perempuan dari dunia kerja hanya menambah kesenjangan yang sudah ada,” tegas Iim.  

Menurut Iim, “Kesejahteraan anak dimulai dari kesejahteraan ibu. Faktor pengungkit utama kesejahteraan ibu adalah kesejahteraan ekonomi. Sehingga apa pun kebijakan yang diambil oleh policy maker harus membantu perempuan mandiri secara ekonomi, bukan malah menjauhkan perempuan dari dunia kerja.”

Iim mengkritik poin-poin dalam RUU KIA. Menurutnya, Pasal-pasal dalam RUU KIA dianggap meletakkan semua beban kepada ibu. Iim juga menganggap aturan terkait tanggung jawab ayah belum cukup detail dalam RUU ini.

Situasi saat ini tanpa adanya RUU KIA saja perempuan sudah berpotensi tergerus dalam dunia kerja. Iim khawatir keadaannya akan semakin buruk bagi eksistensi perempuan di dunia kerja, terutama pada saat bisnis yang baru bangkit dari mati surinya setelah pandemi berkepanjangan.

Sistem Kesejahteraan Negara Maju?

Nanang Sunandar (Direktur Eksekutif INDEKS), selaku narasumber terakhir, sepakat dengan Iim bahwa kesejahteraan Ibu dan anak bermuara pada kesejahteraan ekonomi. Nanang berpendapat, naskah akademik RUU KIA mengingatkannya pada sistem kesejahteraan negara-negara nordik yang komprehensif dan universal.

Aspek cakupan sistem kesejahteraan sosial Nordik ini begitu luas dan mengatur layanan kesehatan, pendidikan dengan pemaparan item yang detail terkait tunjangan kesejahteraan bagi orang yang bekerja di rumah. Menurut Nanang sejauh ini, hal-hal tersebut dibahas dalam naskah akademik RUU ini.

Selanjutnya, Nanang memberikan pertanyaan refleksi terkait ketersediaan sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan implementasi RUU ini jika sudah menjadi UU. Juga terkait mekanisme distribusi manfaat yang adil bagi setiap orang tanpa terkecuali. Dua hal ini terkait dengan kebebasan ekonomi dan kebebasan sipil.

Nanang menjelaskan, sistem Nordik adalah kombinasi unik dari free market capitalism dan social benefit. Keberhasilan negara-negara nordik dalam implementasi free market capitalism dengan bentuk distribusi social benefit ini mendapat pujian dari banyak  lembaga internasional. Hal lain yang menjadi perhatian bahwa sistem ini disebutkan dalam banyak jurnal didorong oleh ekonomi kapitalis yang memang menimbulkan creative destruction.

Jika sistem itu bekerja dengan baik, lanjut Nanang, “Maka para pengusaha dapat mengoptimalkan bisnisnya dengan model-model bisnis yang transformatif sambil menunjang pekerjanya dengan tunjangan-tunjangan yang generous.

Sistem itu juga menurut Nanang memperlakukan semua kalangan masyarakat all equally tanpa diskriminasi dengan alasan apa pun.

Singkatnya, Nanang menegaskan bahwa produk hukum untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak itu penting. Namun, agar produk hukum tersebut terlaksana dengan baik, maka kondisi kebebasan sipil dan kebebasan ekonomi harus dijamin dengan baik.

Nanang merujuk pada data Mother’s Index terbaru, sebuah indeks yang mengukur tingkat kesejahteraan, literasi dan partisipasi sosial dan politik perempuan-perempuan yang berstatus sebagai ibu di negara-negara.

“Sepuluh teratas dalam peringkat Indeks Ibu seluruhnya adalah negara-negara yang berstatus bebas dalam hal kebebasan sipil. Dalam hal kebebasan ekonomi, sepuluh negara ini memiliki status kebebasan yang bervariasi, yakni bebas (1 negara), sebagian besar bebas (7 negara), dan bebas moderat (2 negara),” beber Nanang.

Ditulis oleh Mathelda Titihalawa.