DE

Demokrasi
Belajar Kebebasan Sipil dan Advokasinya Bersama Para Pakar

Pelatihan Online Advokasi Kebebasan Sipil, Dalam Jaringan, 22-25 Juni 2020
March for better tomorrow
© Photo by Markus Spiske on Unsplash

Friedrich Naumann Foundation (FNF) Indonesia dan Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Lembaga Indeks) untuk kesekian kalinya menggelar kegiatan pelatihan Advokasi Kebebasan Sipil. Kegiatan pelatihan ini juga didukung oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, sebagai mitra FNF di Indonesia. Ibu Cut Feroza dari Kementerian Hukum dan HAM menyampaikan hubungan kerjasama antara FNF Indonesia dan Kemenkumham yang sudah terjalin sejak tahun 2015, dan Hak Asasi Manusia merupakan salah satu fokus kerjasama. Beliau berharap, dengan dilaksakan kegiatan pelatihan advokasi kebebasan sipil, hal tersebut akan membawa banyak manfaat untuk pemenuhan Hak Asasi Manusia di Indonesia, sehingga mampu tercipta kehidupan yang damai dan sejahtera. Jika sebelum-sebelumnya kegiatan pelatihan serupa ini digelar secara off-line, tapi karena Pandemi Covid-19 kegiatan digelar melalui aplikasi Zoom, selama 4 hari (Senin-Kamis, 22-25 Juni 2020).

Training yang mengangkat tema “Pancasila, Kebebasan dan HAM: Antara Konteks dan Universalitas Nilai” ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan advokasi HAM, khususnya dalam dimensi kebebasan sipil dan hak-hak politik; meningkatkan kepedulian terhadap isu-isu kebebasan sipil dan HAM pada umumnya dan mendiskusikan hubungan antara kebebasan, Pancasila, dan hukum Hak Asasi Manusia.

Adapun latar belakang kegiatan ini digelar, menurut Ganes Woro Retnani (staf program FNF Indonesia), dalam sambutan di hari pertama, menyampaikan bahwa salah satu latar belakang kegiatan ini digelar selain karena merupakan komitmen FNF Indonesia dalam mengembangkan gagasan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, juga karena berdasarkan laporan beberapa lembaga internasional bahwa saat ini indeks kebebasan sipil di Indonesia berada pada skor yang belum memuaskan.

Pelatihan ini dikuti oleh 25 peserta dari Aceh hingga NTB dari rentang usia 19-28 tahun. 25 peserta ini merupakan peserta terpilih dari 138 pendaftar yang mengirimkan ke Lembaga Indeks form pendaftaran dan karya naskah dengan tema kebebasan dan hak-hak sipil. 

Selama empat hari, secara intensif dari pukul 09.00-17.00 WIB, 25 peserta belajar dengan para pakar HAM dan praktisi advokasi kebebasan sipil seperti Asfinawati (Ketua YLBHI) Haris Azhar (Lokataru), Usman Hamid (Amnesty Internasional), Atikah Nuraini (AJAR Indonesia), Tantowi Anwari (Serikat Jurnalis untuk Keberagamaan–Sejuk) dan Saidiman Ahmad (Peneliti SMRC).

Kegiatan ini juga menghadirkan Ulil Abshar Abdalla dan Syaiful Arif (Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila) sebagai narasumber tema Pancasila dan Diskursus Kebebasan Sipil.

Adapun sebagai fasilitator: Nanang Sunandar (Direktur Eksekutif Indeks), Sukron Hadi (Manajer Program Indeks) dan Iqbal Hasanuddin (Direktur LSAF).

Pada hari pertama, Senin 22 Juni 2020, setelah sambutan-sambutan dari penyelanggara, masing-masing peserta diajak oleh Sukron Hadi dan Nanang Sunandar (fasilitator) untuk memperkenalkan diri dan menyampaikan motivasi apa yang melatari mereka mendaftar dan mengikuti kegiatan pelatihan ini serta tulisan apa yang mereka angkat saat mendaftar.

Dari sesi ini, tergambar secara umum peserta memiliki dua motivasi. Pertama, motivasi yang sangat personal seperti ingin belajar, menambah wawasan tentang ketrampilan advokasi, menambah jaringan, dsb. Kedua motivasi eksternal, terkait kondisi perlindungan kebebasan dan hak-hak sipil di Indonesia yang kurang memuaskan dan mereka ingin mendapatkan banyak wawasan terkait itu dan bagaimana strategi advokasinya.

Setalah jam istirahat makan siang, para peserta diajak berdiskusi bersama narasumber Ulil Abshar Abdalla dan Syaiful Arif (Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila), dengan tema Pancasila dan Diskursus Kebebasan Sipil. Moderator diskusi, Iqbal Hasanuddin (fasilitator), membuka diskusi dengan pertanyaan menarik. Bagaimana hubungan antara Pancasila dengan kebebasan sipil. Seperti apa titik temu dan titik tentangnya?

Syaiful Arif menyampaikan secara umum sejarah dan argumen dasar Pancasila sebagai filsafat dasar (philosophische grondslag) negara, yang mana mengandung ide sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan sosio-religius. Menurut Syaiful, secara umum Pancasila mendukung kebebasan sipil. Adapun secara spesifik, kebebasan sipil tercakup dalam sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.

Adapun bagi Ulil Abshar Abdalla, term kebebasan seringkali dianggap sebagai ide dari Barat. Menurutnya, itu anggapan yang tidak tepat karena kebebesan atau kehendak untuk bebas itu bersifat universal. Kebebasan adalah kehendak atau aspirasi manusia secara universal. Bahkan kelahiran agama-agama besar di dunia didasarkan salah satunya adalah untuk memenuhi aspirasi kebebasan. Misalnya dalam Islam, ada ide yang berkaitan dengan perlindungan kebebasan manusia melalui hukum yang dibentuk bukan dari bangsawan atau raja atau kekuasaan, justru hukum membatasi wewenang kekuasaan melalui Syariah yang dirumuskan Kitab Suci oleh ahli hukum (ahl al-fiqh

Pada pukul 13.00 WIB, Atikah Nuraini dari AJAR menyampaikan materi Kebebasan Sipil dalam Sistem Hukum Indonesia. Di awal sesi, Atikah mengajak peserta untuk menyampaikan pendapatnya kira-kira saat ini kondisi kebebasan sipil Indonesia ada di skor berapa dari skala 1-10. Beberapa peserta mengajukan beberapa angka kepada Atikah dari rentang 4 sampai 7, yang kemudian dikomentari oleh Atikah dengan menyampaikan data-data dari lembaga internasional terkait skor kondisi kebebasan sipil di Indonesia yang belum memuaskan. Atikah membeberkan beberapa kasus pelanggaran hak sipil di Indonesia beberapa tahun terakhir.

Selanjutnya, Atikah menyampaikan bahwa pada sidang BPUPKI 1945, para founding fathers kita berdepat alot terkait perlunya HAM diakomodir dalam UUD 45. Perdebatan ini melahirkan jalan tengah bahwa Kebebasan Berkumpul dan Berserikat; Kebebasan Berpendapat; Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, dijamin dalam UUD 45.

Baru pada sidang MPR (1998) keluar TAP MPR No. XVII /1998 “Piagam HAM” dan Amandemen UUD 45, lalu kemudian keluar UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Adapun kebebasan sipil sendiri baru diratifikaksi pada 2005 melaui UU no. 12 tahun 2005 tentang pengesahan ICCPR, yang mana secara khusus hak sipil tercakup pada pasal 6-22.

Untuk itu, bagi Ulil, sebenarnya dalam Islam tidak ada tradisi kekuasaan monarki absolut. Karena sebetulnya kekuasaan penguasa dibatasi oleh hukum. Banyak ulama terdahulu menyebut hukum dalam Islam memiliki maksud (maqasidu syariah) untuk melindungi beberapa kebebasan yang kemudian terdapat dalam International Covenant of Civil and Politic Rights (ICCPR). Di antaranya hak hidup (hifdzu nafs), human dignity, dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Selain itu, ide persamaan di hadapan hukum, kebebasan berpendapat serta berserikat, dan lain-lain juga didukung oleh hukum Islam.

Adapun dalam konteks Indonesia, menurut Ulil, kemerdekaan Indonesia tahun 1945 pada dasarnya adalah fondasi penting kebebasan. Yang mana banyak kebebasan yang direnggut dan daibatasi pada masa kolonial. Adapun Pancasila itu, bagi Ulil, adalah bentuk kesepakatan politik yang memungkinkan realisasi kebebasan di Indonesia. Untuk itu, Pancasila pada dasarnya—meskipun tidak menyebut kata kebebasan—sebagai kehendak untuk menikmati kebebasan, yang kemudian dirumuskan secara sistematis dalam UUD 1945.

Setelah sesi tanya jawab dengan dua narasumber, pada penghujung hari pertama kegiatan ini peserta diajak diskusi kelompok. Peserta dibagi menjadi tiga kelompok yang masing-masing kelompok di breakout room (salah satu fasilitas zoom meeting) didampingi tiga fasilitator untuk mendiskusikan lebih dalam antara hubungan Pancasila dan kebebasan sipil.

Advokasi Kebebasan Sipil, Online Training, Pelatihan Online
© FNF Indonesia, INDEKS

Pada hari kedua, Selasa 23 Juni, materi kegiatan mulai masuk pada fokus pembahasan kebebasan sipil. Usman Hamid  membawakan tema Kebebasan Sipil: Sejarah dan Konsep. Pada sesi ini, Usman mejabarkan sejarah kebebasan sipil dari perjanian Magna Charta, Bill of Right di Amerika, ICCPR hingga konteks Indonesia.

Menurut Usman, kebebasan sipil adalah hak dan kebebasan yang melindungi seseorang dari negara dan yang didukung oleh sistem hukum suatu negara. Manusia tidak perlu mendapatkan hak sipil karena kewarganegaraan secara otomatis menganugerahkannya. Kebebasan sipil mencegah pemerintah menyalahgunakan kekuasaan mereka dan membatasi tingkat campur tangan dalam kehidupan masyarakat.

Setelah berdiskusi dengan Usman, peserta dibagi menjadi tiga kelompok dan lebih jauh berdiskusi terdi tiga breakout room dengan para fasilitator dan fokus pada bahasan Kebebasan sebagai Watak Dasar HAM.

Yakni; Hak Hidup (Pasal 6), Hak untuk Bebas dari Penyiksaan (pasal 7), Hak untuk Bebas dari Perbudakan dan kerja paksa (Pasal 8), Hak atas Kebebasan dan Keamanan pribadi (Pasal 9), Hak atas kebebasan untuk bergerak dan berpindah (pasal 12), Hak atas pengakuan dan persamaan perlakuan di depan hukum (Pasal 14), Hak atas privasi (Pasal 17), Hak atas Kebebasan Berpikir, berkeyakinan, dan beragama (Pasal 18), Hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi (pasal 19), dan Hak untuk bebas berkumpul dan berserikat (pasal 21 dan 22).

Dalam sesi Tanya jawab, salah satu peserta, mengajukan pertanyaan penting kepada Atikah: “Jika saya membunuh (merenggut hak hidup) seseorang apakah itu disebut pelanggaran HAM?”

Atikah menjawab dengan tegas bahwa tindakan kamu adalah tindakan pidana. Tapi jika negara tidak memproses kamu secara hukum atau membiarkan kamu, itu artinya negara telah melanggar HAM karena membiarkan pembunuhan terjadi. Pelanggaran HAM oleh negara, menurut Atikah, bisa by omission (pembiaran) dan by commission (melakukan pelanggaran langsung). Untuk itu dalam hal ini, negara memiliki kewajiban untuk melindungi, menghargai dan memenuhi HAM warganya.

Setelah tanya jawab dengan Atikah, peserta diajak berdiskusi kelompok di tiga breakout room didampingi para fasilitator untuk menganalisis aturan hukum dari UU hingga Pergub yang berpotensi atau secara jelas melanggar kebebasan sipil. Lalu masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompoknya.

Pada pagi hari ketiga, Rabu 24 Juni, Asfinawati dari YLBHI hadir menyampaikan materi Analisis Situasi Kebebasan Sipil di Indonesia. Asfin menyampaikan banyaknya kasus pelanggaran kebebasan sipil di Indonesia berdasarkan data Freedom House dan data lain yang saat ini kondisinya cenderung buruk. Dari kasus pelanggaran keyakinan dan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan akademis, dsb.

Untuk itu, Asfin mengajak peserta untuk lebih melek terhadap upaya-upaya yang berupaya memberangus kebebasan sipil dan demokrasi. Ia menampilkan siklus sistem pemerintahan yang mana dengan itu tidak menutup kemungkinan bahwa sistem demokrasi yang sedang berjalan saat ini bisa kembali bergerak menjadi sistem otoritarian.

Setelah sesi tanya jawab dengan Asfin, para peserta yang sudah dibagi menjadi tiga kelompok, diajak oleh fasilitator masuk ke sei Visualisasi: Dunia dengan dan Tanpa Kebebasan Sipil. Di sini Sukron Hadi, Iqbal Hasanuddin dan Nanang Sunandar sebagai fasilitator, di masing-masing breakout room, mengajak peserta untuk memvisualisasikan dengan metode semi-meditasi.

Semua peserta diajak melakuan dua visualisasi tentang diri mereka sendiri untuk menjadi seorang pemimpin, dan kemudian menjadi rakyat biasa dalam kondisi sebuah negara yang amat sangat beragam dan kondisi dengan dan tanpa kebebasan sipil. Setelah visualisasi, masing-masing peserta diminta untuk berbagi tentang apa yang mereka visualisasikan.

Jika pada dalam sesi sebelumnya lebih normatif dalam bahasan kebebasn sipil, pada pukul 13.00 WIB, narasumber Saidiman Ahmad mengajak peserta lebih teoritis dan filosofis dalam memahami kebebasan sipil. Merujuk pemikiran Isiah Berlin, Saidiman menjabarkan dua bentuk atua konsep kebebasan, yakni kebebasan positif dan kebebasan negatif.

Saidiman meluruskan makna kebebasan yang saat ini sering disalahpahami oleh masyarakat awam, yang cendung dimaknai pejoratif. Untuk itu penting memahami konsep kebebasan positif dan negatif. Kebebasan positif adalah pandangan yang mengandaikan bahwa orang menjadi bebas jika ia mampu mengaktualisasikan dirinya sendiri. Adapun kebebasan negatif itu keadaan yang bebas, intervensi dari paksaan dan kesewenang-wenangan dari entitas lain.

Dalam ranah sosial dan politik, menurut Saidiman, kebebasan positif akan mengejawantah pada intervensi yang berlebihan pada individu dan seringnya diterapkan pada negara-negara otoriter. Adapun kebebasan negatif hadir jika kita bebas dari intervensi orang lain. Semakin tidak ada intervensi maka kita semakin bebas. Dengan kata lain, kebebasan negatif adalah jawaban dari pertanyaan dalam wialayah apa manusia harus dibiarkan dan bertindak sesuai kehendaknya

Dari penjelasan Sadiman ini dapat ditangkap bahwa sikap pemerintah tehadap kebebasan sipil warga, idelanya, dalam relasi konsep kebebasan negatif. Tidak mengintervensinya, tapi kewajiban pemerintah pada kebebasan sipil warganya pada penghormatan dan pelindungan.

Setelah sesi Tanya jawab, peserta diajak lebih jauh untuk mendikusikan konsep kebebasan di tiga breakout room yang masing-masing breakout room didampingi oleh fasilitator. Selain diajak mendalami hubungan konsep kebebasan dengan kebebasan positif dalam ICCPR, peserta juga diajak untuk mendiskusikan Etika Politik Kebebasan: Membedakan Kebebasan dari Kesewenang-wenangan.

Pada hari terakhir, Kamis, 25 Juni, peserta diajak belajar terkait advokasi kebebasan sipil. Pada sesi pagi, panita menghadirkan Haris Azhar. Haris Azhar menyampaikan tema Logical Framework Strategi Advokasi Kebebasan Sipil.

Pada sesi ini Haris menyampaikan bahwa advokasi memiliki tujuan penting yakni perubahan atas fakta atau kondisi yang dianggap tidak ideal. Dalam kaitannya dengan advokasi kebebasan sipil, kondisi atau fakta yang tidak ideal ini terkait pelanggaran datau tidak dilindunginya kebebasan sipil. Untuk itu, perlu strategi yang runnut dan matang untuk merealisasikan tujuan dari advokasi itu. Dari mengetahui secara jernih fakta yang kemudian menjadi premis, kemudian menentukan mekanisme dan strategi advokasi apa saja yang harus dilakukan.

Setelah sesi tanya jawab dengan Haris Azhar, didampingi fasilitator, para peserta yang dibagi menjadi tiga kelompok di breakout room diajak berdiskusi kelompok Merancang Strategi Advokasi Kebebasan Sipil. Masing-masing peserta diminta fasilitator untuk menentukan kasus kebebasan sipil apa yang menjadi perhatian mereka lalu diminta untuk merancang advokasi hingga diharapkan mencapai perubahan.

Adapun pada sesi pukul 13.00, bersama Tantowi Anwari dari Sejuk, para peserta belajar terkait advokasi dalam konteks media, Jejaring Media dalam Advokasi Kebebasan Sipil. Pada awal sesi, Tantowi mengajak peserta untuk menceritakan kasus-kasus atau kondisi pelanggaran HAM di wilayah mereka.

Setelah itu, ia memperlihatkan beberap contoh bagaimana beberapa media memframing sebuah kasus kebebasan sipil dalam bentuk berita, yang cenderung merugikan korban. Dari contoh ini, Tantowi ingin menyampaikan bahwa media itu seperti pisau bermata dua. Selain penting peranannya dalam negara demokrasi, juga bisa merugikan korban pelanggaran hak sipil dengan menampilkan berita yang bermuatan stigma/stereotipe, ombastis/sensasional, tidak verifikasi, memelintir, tidak cover all sides: narasumber resmi (aparat), dan tidak ada suara korban/minoritas. Tak jarang juga Miskin perspektif, cenderung sentimen iman dan self-censorship.

Padahal idelanya, menurut Tantowi, media itu harus berpihak ke warga (apapun latar belakangnya) dan memiliki kewajiban untuk menyampaikan kebenaran. Dan meski demikian, media adalah entitas penting dalam merawat demokrasi dan kebebasan sipil, sehingga perlu dirangkul dan diberikan pemahaman, sehingga jika sebelumnya korban pelanggaran kebebasan sipil obyek berita, bisa menjadi subyek berita.

Jika media melakukan pemberitaan yang merugikan, menurut Tantowi, jangan sampai kita menuntut ke pemerintah untuk membredel apalagi melakukan persekusi. Sebagai masyarakat sipil, ajukan saja ke mereka hak koreksi dan hak jawab.

Kegiatan ini ditutup setelah peserta diajak untuk merancang  Rencana Tindak Lanjut (RTL) pelatihan.