DE

Metode Komunikasi
Bina Damai dengan Metode Komunikasi Nirkekerasan

Bina Damai dengan Metode Komunikasi Nirkekerasan
© Farhan Abas

Biasanya, salah satu mitra Friedrich Naumann Foundation (FNF) Indonesia, Lembaga INDEKS, mengadakan pelatihan untuk menguatkan pemahaman dan ketrampilan peserta terkait advokasi kebebasan sipil, dengan menggunakan pendekatan hak (rights-based). Akan tetapi pelatihan kali ini berbeda.

Nanang Sunandar (Direktur Eksekutif Lembaga INDEKS) mengatakan bahwa pelatihan bertajuk Bina Damai dengan Metode Komunikasi Nirkekerasan menggunakan pendekatan peacebuilding dalam penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) yang berwatak interest-based.

“Tujuannya ialah melengkapi pendekatan right-based dengan keterampilan nonviolence communication (NVC) dalam rangka mediasi kepentingan para pihak yang berkonflik,” kata Nanang dalam sambutan acara.

Pelatihan yang digelar atas kerja sama Lembaga INDEKS dan FNF Indonesia serta atas dukungan dari Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, pada Jumat-Minggu, 1-3 Oktober 2021, ini menghadirkan trainer utama Philipus Yusenda (fasilitator NVC dan Trainir Living Values Education) serta difasilitasi oleh dua tim dari Lembaga Indeks. Adapun kegiatan ini diikuti oleh 20 peserta terpilih dari 58 pendaftar yang diseleksi.

Pada hari pertama, Philip dibantu para fasilitator membuka kegiatan training dengan mengajak 20 peserta untuk mengetahui perasaannya sendiri. Philip meminta peserta untuk hening dan bertanya kepada diri sendiri “Apa yang sedang hidup di hatimu?” Kemudian, Philip meminta peserta untuk berpasangan di breakoutroom untuk bergantian menanyakan kepada pasangan diskusinya dengan pertanyaan yang sama secara tiga kali sebagai cermin, dan bergantian.

Dari excercise ini, banyak peserta yang tidak nyaman karena ditanyakan soal kondisi perasaannya dengan satu pertanyaan secara berualang-ulang. Namun kemudian, ketika Philip meminta peserta untuk melakukan excercise yang sama dengan pertanyaan yang sama namun dengan lima kali bertanya, peserta perlahan menjadi terbiasa.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengajak peserta mengenali perasaannya sendiri dan perasaaan orang lain.

Pada Sesi II “Perasaan dan kebutuhan di baliknya”, dengan metode yang agak sama Philip mengajak peserta untuk menjadi CCTV bagi dirinya sendiri untuk dapat memisahkan antara apa yang dirasakan dan apa yang dibutuhkan. Philip berharap dengan latihan ini, peserta dapat dengan jernih membedakan apa itu perasaan dan apa itu kebutuhan.

Membedakan perasaan dan kebutuhan dengan jernih sangat dibutuhkan bagi mediator bian damai dalam menangkap secara netral sebuah peristiwa, cerita atau kejadian yang diutarakan bagi pihak-pihak yang sedang bermasalah ataupun berkonflik.

Pada hari kedua, Philip mengajak peserta lebih dalam untuk jernih dalam melihat dan mengidentifikasi perasaan dan kebutuhan. Dalam Sesi III “Memisahkan antara rasa dan saya sendiri”, Philip menggunakan dua jenis kartu. Yakni, kartu perasaan dan kartu kebutuhan.  Seperti hari sebelumnya, pada hari kedua ini peserta diajak melakukan excercise untuk lebih jauh melakukan dan mengalami aktivitas memilah secara jernih perasaan dan kebutuhan apa di balik perasaan yang sedang dialami.

Lebih jauh, pada Sesi IV, Philip mengajak peserta untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan apa yang tidak terpenuhi di balik sebuah perasaan negatif yang dialami para korban, pelaku ataupun pihak-pihak yang sedang berkonflik. Peserta diminta untuk mengidentifikasi dari kasus-kasus konflik yang para peserta ikuti.

Philip percaya bahwa konflik terjadi karena adanya perasaan negatif yang tumbuh dari kedua belah pihak yang bersumber dari terabaikannya dan tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan emosi dasar.

Pada hari ketiga, Philip mengajak peserta untuk mengidentifikasi perasaan dan kebutuhan orang yang sedang dihadapi dalam upaya bina damai melalui teknik dissolving enemy images. Dengan dua jenis kartu dan papan, Philip mengajak satu per satu peserta untuk mengidentifikasi peristiwa konflik.

Dari aktivitas ini, peserta dapat menangkap bahwa dalam satu peristiwa konflik terdapat banyak perasaan dan banyak kebutuhan apa saja di balik perasaan-perasaan tersebut yang harus dipenuhi. Selain itu, peserta juga dapat menganalisa perasaan-perasaan mana dan kebutuhan-kebuthan apa di baliknya yang harus didahulukan untuk dipenuhi dalam upaya bina damai.

Proses ini dapat menjadi bekal peserta untuk melakukan upaya bina damai terhadap konflik internal di dalam keluarga atgau antarteman, lingkungan kerja, ataupun konflik dalam skala lebih besar lagi.

Philip menegaskan bahwa untuk menjadi mediator yang mengelola konflik itu harus dimulai dari diri sendiri yang benar-benar ingin menyelesaikan konflik secara tulus dan juga harus menjadi pribadi yang bisa menjadi teladan, yang menjalani hidup dengan menjunjung tinggi nilai-nilai positif; tidak sebaliknya.

Selain itu, sebelum melakukan upaya bina damai atau melakukan resolusi konflik, mediator harus memastikan terlebih dahulu beberapa aturan.

“Pertama, menawarkan bantuan. Kedua, ajukan pertanyaan dalam proses resolusi konflik. Ketiga, dengarkan setiap orang atau pihak secara seksama. Keempat, dengarkan mereka secara aktif. Kelima, arahkan orang untuk mendengarkan satu sama lain dan tidak melakukan interupsi. Keenam, doronglah orang untuk mendengarkan. Ketujuh, doronglah orang untuk mengulangi apa yang dikatakan orang lain. Kedelapan, hargai kemampuan mereka dalam mendengarkan dan berkomunikasi. Kesembilan, hindari untuk memihak,” rinci Philip.

Kegiatan ini diakhiri dengan sesi Rencana Tindak Lanjut (RTL). Dalam RTL, para fasilitator mengajak semua peserta untuk merefleksikan apa yang didapat selama tiga hari pelatihan. Kemudian, mereka diminta untuk menyampaikan secara tertulis.

Pertama, secara individual, mereka akan melakukan apa setelah mengikuti kegiatan pelatihan selama tiga hari. Kedua, apa yang akan mereka lakukan untuk komunitas mereka masing-masing setelah tiga hari mendapatkan materi dan skill bina damai dengan metode nirkekekerasan.

Pada bagian kedua, semua peserta berkomitmen untuk mempraktikan ketrampilan bina damai ini di komunitas mereka masing-masing. Baik di tempat kerja, komunitas ataupun lingkungan masyarakat.

Lebih jauh, bagi peserta yang bergiat di lembaga-lembaga hukum dan yang bergerak dalam isu perdamaian, akan menggunakan ketrampilan ini dalam menghadapi perselisihan atau konflik di masyarakat yang melibatkan beberapa orang ataupun kelompok.