International Academy for Leadership
Free Media: Ancaman, Uang, dan Strategi untuk Menjadi Bebas
Wartawan Tempo, Lani Diana, di kompleks Gedung Theodor Heuss Akademie, Gummersbach, Jerman, pada Kamis, 3 Juli 2025. Dokumentasi: peserta IAF 2025.
Beberapa waktu lalu saya mendapat tawaran untuk mengikuti seminar “Freedom of the Press – Challenges in the Digital Age” yang diselenggarakan oleh organisasi nirlaba asal Jerman, Friedrich Naumann Stiftung. Seminar ini merupakan bagian dari program International Academy for Leadership (IAF). Saya sangat tertarik karena rasanya sangat relevan dengan kondisi jurnalisme di Indonesia saat ini.
Meski saya juga bertanya-tanya: apa yang akan saya peroleh dari program International Academy for Leadership 2025? Isu kebebasan pers bukanlah hal baru. Saya yakin jurnalis internasional juga sependapat. Jadi, apa lagi yang ingin disampaikan oleh Friedrich Naumann Stiftung? Sebelum masuk pembahasan lebih detail yang saya tuliskan dalam sub-bab artikel ini, saya ingin memberi konteks bahwa saya lolos seleksi dan berhak mengikuti program tersebut selama dua pekan. Saya bangga ketika mengetahui menjadi satu-satunya perwakilan dari Indonesia, meski cukup nervous setibanya di lokasi seminar di Gummersbach, Jerman.
Seminar hari pertama dalam program International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh Friedrich Naumann Stiftung di Gummersbach, Jerman, pada Minggu, 22 Juni 2025. Dokumentasi: Lani Diana.
Ternyata Pers Belum Benar-benar Bebas
Sebuah pesan yang dikirimkan oleh salah satu peserta seminar dalam grup WhatsApp kami membuat saya tersadar bahwa kebebasan pers memang belum merata dirasakan di banyak negara. Isi pesan itu adalah informasi tentang salah satu editor dari koran mingguan Zimbabwe Independent, Faith Zaba, ditangkap pada 1 Juli 2025. Penangkapan itu dipicu karena laporan satir buatan Faith Zaba. Dia dituduh telah menghina Presiden Mnangagwa melalui artikel tersebut.
Selama dua pekan mengikuti program ini, saya mencatat bahwa ada pula ancaman lain untuk ‘membungkam’ pers. Di antaranya pemerintah dan pemilik media yang mengontrol pemberitaan, perusahaan teknologi atau big tech, serta sensor berita. Disinformasi, berita bohong atau hoaks, propaganda, dan serangan kepada jurnalis juga kian masif, apalagi di masa perang Israel-Palestina saat ini. Media publik yang dijalankan oleh pemerintah tak luput dari perhatian karena kerap menampilkan propaganda.
Yang menarik dan penting untuk disadari bersama adalah bagaimana propaganda disebarkan melalui medium pop culture seperti film dan media sosial. Profesor manajemen media dan budaya dari Macromedia University di Berlin, Gernot Wolfram, menyebut konten propaganda yang disuguhkan dibuat semenarik mungkin untuk memainkan emosi publik. Masalahnya orang-orang muda justru menikmati konten tersebut. Diskusi dengan Gernot berlangsung di sebuah ruangan hotel di Kota Berlin yang masuk dalam rangkaian seminar kami di Jerman.
Saat pemaparan, dia memberikan beberapa contoh konten propaganda yang diunggah via media sosial TikTok. Video tersebut menampilkan seorang yang sedang mengikuti demonstrasi untuk konteks dan lokasi yang berbeda. Tapi aktornya sama. Inilah contoh nyata propaganda masa kini yang dikemas untuk menggugah emosional penontonnya oleh satu orang. “Propaganda mengkombinasikan unsur intelektualitas dengan entertainment,” tutur Gernot. Bahkan, disinformasi kini bisa disebarkan melalui aplikasi kencan, ulasan produk, dan musik.
Satu pernyataan penting dari Gernot bahwa publik harus bisa membedakan antara realita dan konten yang ditampilkan media massa. Isu propaganda tentu bukan hal baru yang biasanya mendadak masif menjelang pemilihan presiden. Sayangnya, kata Gernot, tak ada solusi untuk menghentikannya. Hanya ada satu hal yang bisa dilakukan media massa yaitu membuat strategi memikirkan strategi untuk melawannya. “Kita bertarung untuk transparansi demi kebebasan berpendapat,” katanya.
(dari kiri ke kanan) Profesor manajemen media dan budaya dari Macromedia University di Berlin, Gernot Wolfram, dan peserta International Academy for Leadership 2025, Lani Diana, di Kota Berlin, Jerman, pada Minggu, 29 Juni 2025. Dokumentasi: pribadi.
AI Penting, tapi...
Kunjungan kami di Berlin berlangsung selama tiga hari pada 28 Juni-1 Juli 2025. Setelah mendalami bagaimana konten propaganda semakin deras di media sosial, para peserta juga bertukar pikiran ihwal kecerdasan buatan (artificial intelligence) bersama salah satu anggota German Press Council (Deutscher Presserat) bernama Xenia Balzereit.
Kecerdasan buatan sudah menjadi pembicaraan di antara para pelaku media secara global. Di Jerman sendiri, beberapa media massa pernah membuat gambar dengan AI. Yang menjadi masalah adalah tidak ada penanda bahwa gambar tersebut buatan AI. Menurut Xenia, belum ada aturan tentang penggunaan AI bagi media massa di Jerman. Meregulasi AI dianggap akan menghentikan inovasi. Pada akhirnya, Dewan Pers Jerman saat ini hanya bisa menegur media yang mengunggah konten AI tanpa mendetailkan sumbernya.
Saya jadi ingat saat hari pertama program IAF berlangsung pada Senin, 23 Juni 2025. Fasilitator Kylie Hatton dan Ivabelle Arroyo mengajak para peserta untuk masuk ke dalam lingkaran yang kami inginkan. Misalnya Kylie dan Ivabelle menyebutkan beberapa jenis hobi seperti olahraga dan mendengarkan musik. Peserta yang menyukai olahraga dibandingkan musik dipersilakan untuk masuk ke dalam kelompok olahraga.
Sesi terakhir rupanya mulai serius yaitu tentang AI. Ada dua opsi apakah kami menyukai AI atau justru khawatir dengan teknologi itu. Saya mencatat delapan dari 23 peserta masuk dalam kelompok penyuka AI. Saya adalah salah satu di antaranya. Kami sepakat bahwa AI merupakan alat untuk membantu manusia dan mempermudah pekerjaan wartawan. Misalnya membantu kami untuk riset.
Sementara itu, 13 peserta lain justru khawatir dengan pengembangan AI. Sebab, teknologi itu dianggap memperburuk penyebaran propaganda hingga misinformasi. Dalam hal ini, kami menyoroti soal moralitas sebuah teknologi yang dengan bebas memberikan informasi kepada masyarakat dengan pelbagai kemungkinan dampaknya.
Mantan Pemimpin Redaksi Daily Maverick sekaligus pendiri Project Kontinuum, Branko Brkic, dalam kesempatan berbeda mengingatkan bahwa AI hanyalah sebuah alat. Oleh karena itu, jurnalis tak boleh disetir oleh teknologi kecerdasan artifisial tersebut. Verifikasi tetaplah nomor satu dalam jurnalisme. “AI penting tapi bukan segalanya,” ujarnya.
Suara Kebebasan Pers dari Gummersbach
Salah satu rangkaian seminar yang diikuti peserta International Academy for Leadership 2025 saat berkunjung ke Kota Berlin, Jerman, pada Minggu, 29 Juni 2025. Dokumentasi: panitia IAF 2025.
Kami banyak menghabiskan waktu di Gummersbach, sebuah daerah yang jaraknya kira-kira 555 kilometer dari pusat Kota Berlin. Tinggal di sini terasa seperti di Puncak. Bus yang kami tumpangi dari Berlin harus melewati jalan dataran tinggi untuk bisa sampai ke gedung Theodor Heuss Akademie, lokasi seminar sekaligus tempat penginapan kami selama program IAF berlangsung di Gummersbach pada 22 Juni-4 Juli 2025.
Baru saja menjalani program International Academy for Leadership (IAF) hari pertama, saya dan 22 peserta lain langsung dibagi ke dalam beberapa grup. Satu grup setidaknya berisikan 5-6 orang. Awalnya saya mengira grup ini hanya sebagai wadah untuk mengakrabkan para peserta. Tapi diskusi grup semakin intens yang salah satunya membahas soal bagaimana kondisi pers di setiap negara.
Peserta IAF tahun ini berasal dari Indonesia, Hungaria, Mali, Turki, hingga Zimbabwe. Secara spesifik, kami datang dari Asia, Eropa, dan Amerika Latin. Total peserta seharusnya 24 orang. Tapi seorang peserta dari Israel berhalangan hadir. Latar belakang peserta IAF tak hanya wartawan tapi juga praktisi media, fact checker, dan lembaga swadaya masyarakat.
Saya ingat betul peserta dari Afrika memaparkan bagaimana rentannya kebebasan pers di negara mereka. Pemerintah setempat memang menyediakan regulasi khusus yang katanya bertujuan untuk melindungi wartawan. Tapi kekerasan terhadap jurnalis masih saja terjadi.
Jika berbicara soal ancaman demokrasi, Jerman punya keresahan serupa. Dalam pemilihan umum federal pada 23 Februari 2025, Partai Free Democratic Party (FDP) atau Partai Demokrat Bebas hanya memperoleh 4,3 persen suara.
Peserta International Academy for Leadership 2025 saat mengikuti seminar “Freedom of the Press – Challenges in the Digital Age” di Gummersbach, Jerman, pada Senin, 23 Juni 2025. Dokumentasi: panitia IAF 2025.
Sementara itu, Die Linke atau Partai Kiri lebih unggul karena meraup 8,8 persen suara. Masuknya Partai Kiri dalam sistem pemerintahan meningkatkan kekhawatiran kelompok liberal atas kebangkitan kepemimpinan yang otoriter di Jerman. Direktur International Academy for Leadership Bettina Solinger menyebut kembalinya kekuasaan partai populis akan membuat kelompok liberal tergerus. "Tapi menyerah bukanlah opsi," ucapnya.
Selama dua pekan yang mengesankan ini, saya menyadari mengapa tema kebebasan pers masih relevan dan penting untuk dibahas. Kami menghadapi satu tantangan yang sama yaitu bagaimana pers bisa benar-benar bebas menyuarakan kepentingan publik tanpa intervensi dari pemerintah ataupun pemilik media.
Selain itu, pers juga harus bebas secara finansial. Membesarnya big tech seperti Google menjadi salah satu ancaman bagi media saat ini. Sebab, perusahaan teknologi raksasa itu dengan bebas mengkurasi konten berita lalu menyebarkan ke platform mereka untuk tujuan komersialisasi. Sementara media pembuat konten itu sendiri tak menikmati keuntungan dari aktivitas tersebut. “Big tech is a biggest threat,” kata Branko Brkic.
Paparan dari mantan Pemimpin Redaksi Daily Maverick, Branko Brkic, mengingatkan kembali pentingnya peran media di era digital. Meski media sosial dibanjiri beragam informasi, tapi publik tetap tertarik untuk mengonsumsi berita. Mereka mungkin tak langsung berselancar ke situs media lantaran terlebih dulu menemukan berita di media sosial. Cara khalayak mengonsumsi berita boleh berubah. Tapi bukan berarti mereka meninggalkan media massa.
Diskusi dengan Branko mendorong saya merefleksikan ulang soal jurnalisme investigasi. Melakukan investigasi bukan pekerjaan mudah. Wartawan memerlukan waktu, energi, sumber, dan uang yang lebih besar untuk merampungkan laporan investigasi. Apakah laporan investigasi bakal menghasilkan lebih banyak cuan untuk media? Belum tentu.
Tapi, menurut Branko, jurnalisme memang bukan sapi perah penghasil uang. Media dan jurnalisme memiliki fungsi yang jauh lebih bermakna dari sekedar menjadi alat bisnis. "Jurnalisme adalah layanan fundamental untuk komunitas dan masyarakat yang sehat," katanya.
Di tengah tantangan pers saat ini, Branko mengingatkan pentingnya media untuk bersekutu dengan komunitas. Misalnya dengan menggandeng komunitas yang bergerak di bidang hukum, seni, bisnis, bahkan sains. Sebab, banyak ancaman di depan mata, baik yang berhubungan dengan digitalisasi ataupun demokrasi. "Sekarang ini kita sedang berjuang untuk bertahan," ujar pendiri Project Kontinuum itu.
Indonesia sudah merespons ancaman ini dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas. Regulasi ini dikenal dengan istilah publisher rights. Mungkin inilah strategi terbaik yang diperlukan pers saat ini.
Bagi saya, ada satu benang merah yang menyatukan 23 peserta International Academy for Leadership 2025: kami sangat merindukan pers yang benar-benar bebas. Karena itu, perlu dirumuskan strategi untuk mencapainya, seperti kata Gernot Wolfram. Dan perlu keberanian untuk menjalankannya, seperti kata Kylie. “Karena seorang liberal adalah pemberani”.
Peserta International Academy for Leadership 2025, Lani Diana, saat sesi presentasi kelompok di Gummersbach, Jerman, pada Rabu, 2 Juli 2025. Dokumentasi: peserta IAF 2025.