DE

Kebebasan Berpendapat
Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi yang Bergeser Menjadi Tabu

Take away dari Diskusi Publik 'Menyoal Tabu dalam Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi' pada Jumat, 10 Juni 2022
Diskusi Publik bertajuk Menyoal Tabu dalam Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi

Narasumber dan organizer Diskusi Publik bertajuk Menyoal Tabu dalam Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi (10/06/2022) di Aula Student Centre Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayaullah Jakarta.

© FNF Indonesia

Indonesia adalah negara dengan sistem demokrasi. Negara demokrasi mensyaratkan jaminan terhadap perlindungan dan penghormatan kebebasan sipil dan politik. Itu kenapa Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui UU no. 12 tahun 2005.

Hal di atas disampaikan oleh Mathelda Titihalawa (Perkumpulan Lembaga INDEKS) selaku moderator dalam pembukaan Diskusi Publik bertajuk Menyoal Tabu dalam Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, pada Jumat, 10 Juni 2022, di Aula Student Centre Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayaullah Jakarta.

Diskusi tersebut terlaksana atas kerja sama Friedrich Naumann Foundation (FNF Indonesia) bersama Perkumpulan Lembaga INDEKS (Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial) dan Kementerina Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Mathelda melanjutkan, dalam ICCPR, kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah salah satu hak sipil yang wajib dihormati dan dilindungi oleh negara. Selain itu UUD 1945 juga menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi. Meski demikian, saat ini kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi wara Indonesia secara umum menghadapi dua hambatan.

“Hambatan pertama, dari aturan hukum. Terdapat beberapa pasal dalam UU tertentu yang memungkin pendapat atau ekspresi tertentu dapat dipidana. Kedua, dari masyarakat. Terdapat banyak kasus orang mengekspresikan pendapatnya dipermasalahkan, dilaporkan, bahkan dipersekusi. Terutama pendapat yang menyangkut soal politik dan agama,” ujar Mathelda.

Itu kenapa, kata Mathelda, kebebasan beerpendapat dan berekspresi seakan bergeser menjadi sebuah tabu di masyarakat. Akibatnya, saat ini banyak masyarakat Indonesia semakin takut dalam berpendapat dan berekspresi, sebagaimana temuan survei SMRC.

Batasan Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi

Bambang Iriana Djajaatmadja (Sekretaris Direktur Jendral Kemnterian Hukum dan HAM Republik Indonesia) selaku narasumber diskusi ini mengamini bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan aspek penting bagi jalannya demokrasi.

“Oleh karena itu pentingnya perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi sudah disadari oleh masyarakat internasional, jauh sebelum keluarnya Universal Declaration of Human Rights, 1946,” papar Bambang.

Atas kesadaran itu selanjutnya perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi dijamin dalam berbagai instrumen internasional, dari Universal Declaration of Human Rights hingga ICCPR. Kebebasan ini juga dijamin dalam Convention on The Rights of The Child, Convention on The Rights of Persons with Disabilities, dan konvensi-konvensi internasional lainnya.

“Di tingkat negara, Indonesia telah mengatur jaminan atas kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam UUD 1945 dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3). Selain itu kebebasan ini juga diatur dalam UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Pers, UU Perlindungan Anak, dan peraturan lainnya.

Dengan demikian secara normatif, lanjut Bambang, kebebasan berpendapat dan berekspresi secara tegas dijamin. Meski demikian dalam pelaksanaannya terdapat berbagai persoalan.

Bambang juga menyampaikan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi termasuk bagian dari sejumlah hak-hak sipil yang bersifat derogable, dapat dibatasi. Untuk pembatasan terhadap kebebasan ini merujuk pada Siracusa Principles.

Pembatasan tersebut berdasarkan undang-undang untuk menjamin pengakuan dan penghormatan HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa. Tujuan dari pembatasan tersebut untuk mengatur agar kebebasan tersebut berjalan dengan tanggung jawab.

“Pembatasan yang dibolehkan dalam instrumen hukum internasional harus diuji dalam metode yang disebut dengan uji tiga rangkai (three part test) yaitu. Pertama, pembatasan harus dilakukan hanya melalui undang-undang; kedua, pembatasan hanya diperkenankan terhadap tujuan yang sah yang telah disebutkan dalam pasal 19 Ayat (3) ICCPR; dan ketiga, pembatasan tersebut benar-benar diperlakukan untuk menjamin dan melindungi masyarakat,” papar Bambang.

Bambang selanjutnya kembali menegaskan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah satu elemen penting dalam demokrasi. Kebebasan ini menjadi salah satu syarat penting yang memungkinkan berlangsungnya demokrasi dan partisipasi publik dalam setiap pembuatan kebijakan.

Indonesia Masuk Kategori Negara Semi-Bebas

Nanang Sunandar (Direktur Eksekutif Lembaga INDEKS) dalam paparannya menyorot bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi perlu jaminan yang luar biasa supaya orang tidak lagi takut dipersekusi atau dipidanakan ketika menyampaikan pendapatnya dan berekspresi.

Nanang Sunandar (Direktur Eksekutif Lembaga INDEKS) dalam paparannya menyorot bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi perlu jaminan yang luar biasa supaya orang tidak lagi takut dipersekusi atau dipidanakan ketika menyampaikan pendapatnya dan berekspresi.

© FNF Indonesia

Terkait demokrasi di Indonesia, narasumber berikutnya Adi Prayitno (Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Imu Politik UIN Syaraif Hidayatullah Jakarta) menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia secara umum berjalan dengan baik.

Karena itu banyak akademisi luar negeri yang tertarik mepelajari proses demokratisasi di Indonesia yang secara umum berjalan dengan baik. Padahal, masyarakat Indonesia adalah mayoritas muslim yang dinilai memiliki kultur yang tidak compatible dengan demokrasi. Meski demikian Adi memberi catatan tentang demokrasi di Indonesia berdasarkan indeks kebebasan.

“Berdasarkan riset Freedom House terakhir, Indonesia masuk dalam kategori semi-bebas. Soal political rights, Indonesia memiliki skor kebebasan yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat bahwa di Indonesia siapa pun dapat menjadi presiden atau kepala daerah, bahkan seorang tukang kayu pun seperti Presiden Joko Widodo,” ungkap peneliti dan pengamat politik ini.

Berbeda dengan political rights yang memiliki skor yang cukup baik, skor civil rights di Indonesia mendapatkan rapot merah. Kondisi kebebasan sipil di negeri ini kurang menggembirakan.

“Ada kecendurangan orang merasa takut mengkritik pemerintah, pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi, pembubaran ormas-ormas yang dianggap terlarang, dan sebagainya itu menjadi catatan-catatan buruk dalam demokrasi kita,” beber Adi.

Meski demikian Adi optimis demokrasi di Indonesia kedepannya akan berjalan positif. Alasannya berkaca pada jalannya demokrasi di sejumlah negara yang naik dan turun. Termasuk demokrasi di Amerika.

Dalam kesempatan ini, kepada para peserta diskusi, Adi berpesan untuk jangan takut menyampaikan pendapat dan ekspresi di negeri demokrasi. Jangan takut juga mengkritik pemerintah, karena itu bagian dari demokrasi. Ia mengingatkan agar mengkritik pemerintah dengan terukur. Hindari fitnah dan hoaks.

Pentingnya Jaminan Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi

Nanang Sunandar (Direktur Eksekutif Lembaga INDEKS) selaku narasumber terakhir menegaskan kembali apa yang sudah disampaikan Bambang di atas bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah salah satu elemen penting dalam demokrasi. Itu kenapa, kata Nanang, jaminan dari negara bagi masyarakat untuk bebas dalam berpendapat dan berekspresi penting keberadaannya.

“Agar proses demokrasi deliberatif berjalan dengan sehat, kebebasan berpendapat dan berekspresi perlu jaminan yang luar biasa supaya orang tidak lagi takut dipersekusi atau dipidanakan ketika menyampaikan pendapatnya dan berekspresi,” kata Nanang.

Menurut Nanang kenapa banyak masyarakat saat ini takut berpendapat dan berekspresi karena mereka ragu dengan adanya jaminan atas keamanannya dalam melakukan itu. Hal itu karena mereka melihat banyaknya kasus orang dipersekusi atau dipidanakan karena berpendapat dan berekspresi.

Untuk itu ia berharap, masyarakat sipil dapat jaminan lebih untuk bisa berpendapat dengan nyaman dalam ruang demokrasi. Karena demokrasi tanpa jaminan bagi kebebasan itu berbahaya. Nanang mencontohkan bagaimana filsuf Yunani Socrates dihukum mati melalui proses demokrasi. Di bawah pemerintahan yang sangat demokratis (sangat baik secara political rights), Socrates dihukum mati karena menyampaikan pendapat yang dianggap menciderai ‘ketertiban umum’.

“Itu kenapa demokrasi harus dikawal dengan jaminan yang sangat kuat terhadap minority rights, hak atas kebebasan bagi minoritas. Minoritas di sini tidak hanya minoritas agama, etnis, atau gender. Tetepai juga minoritas yang paling minor yaitu individu. Harus ada jaminan atas hak-hak sipil bagi setiap individu,” jelas Nanang.

*Artikel ini disusun oleh Sukron Hadi dari Lembaga Indeks.