DE

DEMOKRASI
Diskusi FNF-IAF: “Cerita dari Dalam: Ketika Pegiat Demokrasi Menjadi Pegiat Negara.”

Diskusi FNF-IAF

Pasca Orde Baru, ruang politik menjadi semakin terbuka. Tersingkirnya militer aktif dan birokrasi dari sistem elektoral membuka ruang baru bagi masyarakat sipil untuk memasuki arena. Sistem multipartai diberlakukan. Dan beberapa tahun kemudian, terselenggara pula pemilihan langsung, baik untuk jabatan eksekutif maupun legislatif, di tingkat pusat maupun daerah. Sebagian aktivis mencoba memanfaatkan peluang tersebut dengan mengikuti pemilu. Mulai dari jalur calon independen untuk DPD, dan juga melalui pendirian partai baru. Namun sejauh ini partai-partai yang didirikan oleh aktivis seperti PRD dan Partai Buruh tidak berhasil meraih suara yang signifikan di dalam pemilu. Kegagalan aktivis pegiat demokrasi untuk bertarung dengan partai yang dibangunnya sendiri inilah yang menjadi salah satu alasan kenapa kemudian banyak aktivis yang memasuki partai-partai politik yang sudah ada, termasuk partai-partai besar seperti PDIP, Golkar, PKB, bahkan partai-partai yang dipimpin oleh purnawirawan tentara seperti Hanura atau Gerindra.

Sejak awal masuknya beberapa aktivis ke dalam sistem, sebenarnya sudah terjadi pro dan kontra antara yang ingin memperbaiki sistem dari dalam, dengan yang memilih tetap berada di luar. Bagi para aktivis yang masuk ke dalam, menjadi bagian dari sistem adalah upaya konkret untuk melakukan perubahan. Namun bagi para aktivis yang memilih di luar, mereka justru khawatir apabila masuk ke dalam sistem, bukannya membuat perubahan yang terjadi malah sebaliknya. Yaitu ikut larut dalam pola pikir dan kultur elitis politisi, serta melupakan agenda dan tujuan yang mereka bawa. Karena begitu menjadi bagian dari partai atau pemerintahan, diperkirakan para aktivis harus tetap mendukung segala kebijakan, sekalipun hal tersebut bertentangan dengan idealisme mereka.

Walaupun pro dan kontra ini sudah terjadi sebelumnya, polarisasi memuncak pada Pemilu tahun 2019, di mana gerakan Golput kembali dihidupkan. Golput muncul sebagai salah satu ekspresi kekecewaan yang tidak hanya ditujukan kepada Jokowi, namun uga ditujukan kepada para aktivis yang masuk ke lingkar kekuasaan. Jokowi dianggap tidak bisa memenuhi janji-janjinya saat kampanye Pemilu 2014. Sehingga ingkar janjinya Jokowi pun seolah juga menjadi tanggung jawab para aktivis yang mendukungnya. Dengan demikian, Golput tidak saja mendelegitimasi Pemilu 2019, melainkan juga kepada sesama aktivis yang ikut terlibat dan bertarung dalam pemilu tersebut, baik yang berhasil masuk ke jajaran eksekutif maupun legislatif.

Dalam diskusi Rabu, 7 September 2022, FNF bekerja sama dengan IAF dan Depkumham mengadakan sebuah diskusi online dengan topik “Cerita dari Dalam: Ketika Pegiat Demokrasi Menjadi Pegiat Negara.” Diskusi ini merupakan salah satu diskusi dari rangkaian diskusi yang telah dimulai sejak tanggal 24 Agustus 2022. Diskusi kali ini mencoba untuk menggali pengalaman-pengalaman dari para mantan aktivis yang kini berada di dalam sistem, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa saja yang mereka lakukan, hingga membuat kinerja mereka dianggap “mengecewakan”? Apa tantangan yang mereka hadapi, yang mungkin tidak diperhitungkan oleh teman-teman sesama aktivis yang berada di luar? Lalu apa yang bisa dilakukan untuk melepaskan sekat-sekat yang timbul akibat pertentangan “luar” dan “dalam”?

Diskusi ini mencoba untuk memberi ruang bagi mereka yang berada di dalam untuk menceritakan pengalamannya. Dihadiri oleh para mantan aktivis sebagai narasumber, yaitu: 1) Andy Budiman, aktivis-jurnalis AJI yang kini menjadi anggota Partai Solidaritas Indonesia (PSI); 2) Agung Putri (Gung Tri) aktivis HAM yang kini menjadi Staff Khusus di Kementerian PPPA; dan juga 3) Berto Tukan, pegiat seni dan budaya yang kini merupakan tenaga ahli di Dirjen Kebudayaan Kemendikbud. Dengan berbagi pengalaman ini, diharapkan kita bisa mendapatkan perspektif yang lebih jelas dan dalam mengenai upaya-upaya yang telah mereka lakukan, serta peluang dan tantangan yang mereka hadapi.

Diskusi FNF-IAF

Latar belakang masuk ke dalam sistem

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pada umumnya alasan di balik masuknya para aktivis ke dalam sistem adalah untuk melakukan perubahan, perbaikan. Menjadi bagian dari sistem diperkirakan akan memiliki pengaruh yang lebih kuat dibandingkan bekerja dari luar, karena menjadi bagian dalam proses pengambilan keputusan (decision making). Gung Tri telah bergabung ke dalam partai PDIP sejak tahun 2009, menjadi anggota DPR RI sejak 2018, sebelum akhirnya menjadi Staf Khusus di Kemen PPPA. Dalam sebuah aartikel di media, Gung Tri menyatakan terinspirasi oleh Jokowi dengan gaya blusukan-nya, sebagai salah satu cara untuk mendengar dan memahami masalah dengan lebih baik, sebelum mengambil keputusan sesuai dengan kewenangannya (Tempo.co, 4 April 2014).

Sedangkan Andy masuk ke partai karena melihat partai politik sebagai salah satu hal yang harus diperbaiki atau direformasi. Reformasi partai politik berjalan sangat lambat,  tapi setiap 5 tahun sekali tetap harus dipilih dalam kerangka representasi politik. Di sisi lain, Andy percaya bahwa keterlibatan orang-orang yang punya integritas dan punya komitmen yang besar bisa membawa perbaikan yang konkret atau nyata. Dengan bergabung ke partai baru seperti PSI, Andy berharap bisa memberikan warna terhadap partai, dan menggunakan PSI sebagai eksperimen untuk mencoba hal-hal baru dan membuat perbedaan, sehingga PSI bisa menjadi contoh  yang akan mendorong partai-partai lain untuk memperbaiki diri.

Sedikit berbeda dengan Berto, Berto tidak masuk ke partai manapun dan hingga saat ini bekerja “dua kaki”. Kaki pertama berada di Dirjen Kebudayaan, namun kaki keduanya sebagai seniman tidak pernah ditinggalkan. Berto tetap aktif di Good School, berkomunikasi dengan kelompok seniman dan masih bekerja sebagai penyiar radio. Proses terjunnya ke dalam politik juga diawali oleh kerja-kerja kolaborasi dengan lembaga pemerintah melalui Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Galeri Nasional. Ketika bekerja sama dengan DKJ inilah, Berto mulai “belajar” tentang pentingnya politik. Bahwa DKJ ada karena sebuah keputusan politik, dan perlunya kerja sama antara aktivis dengan pemerintah, dalam hal ini aktivis kebudayaan dengan pemerintah DKI Jakarta.

Berbagai capaian dan best practices

Selama bekerja dari dalam, telah terdapat beberapa keberhasilan atau perbaikan yang telah dicapai. Tentu keberhasilan tersebut bukanlah hasil kerja individu. Namun hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk mendorong perbaikan dari dalam itu memang ada, dan hasilnya tidak selalu sia-sia. UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) adalah capaian yang dapat dikatakan paling membanggakan di tahun ini. Bekerja sama dengan aktivis perempuan dari berbagai organisasi, dan juga berbagai kelompok masyarakat, Kemen PPPA mengawal proses pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di DPR hingga akhirnya berhasil disahkan.

Sementara itu keberadaan Berto dan teman-teman di Dirjen Kebudayaan berupaya terwujudnya sistem pengambilan keputusan yang partisipatif dalam penyusunan PPKD (Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah), melalui FGD-FGD. Hal ini dilakukan dalam kerangka Kongres Kebudayaan yang diadakan setiap 5-6 tahun sekali. Dengan adanya FGD, teman-teman di Dirjenbud mendorong munculnya aspirasi tidak hanya dari kaum cerdik-pandai kebudayaan yang sering membuat makalah, tetapi juga teman-teman yang terlibat di tradisi, pelaku-pelaku seni-budaya di kabupaten, dan lain sebagainya. Dari Kongres Kebudayaan 2018, itu muncul rumusan strategi kebudayaan yang salah satu turunannya adalah Dana Indonesiana. Dana Indonesiana adalah dana abadi kebudayaan yang bermanfaat untuk menghidupkan kembali kesenian-kesenian dan tradisi lokal yang sebelumnya nyaris mati karena tidak ada anggaran lagi.

PSI memiliki tagline sebagai anti korupsi dan anti intoleransi. Hal itu diwujudkan dengan  dikatakan kirpahnya cukup menonjol di DPRD DKI Jakarta. Fraksi PSI aktif mengawasi, memeriksa anggaran APDB DKI, hingga berhasil membongkar beberapa anggaran yang dianggap bermasalah. Di luar itu, PSI juga membuka diri terhadap KPK dan program-program yang ditawarkan oleh TII. Dalam kaitannya dengan anti intoleransi, PSI aktif mendampingi Meiliana dengan memberikan pengacara dan memberikan advokasi hingga kasus selesai. Sedangkan komitmen PSI terhadap perempuan diwujudkan dengan adanya Komite Solidaritas Pelindung Perempuan dan Anak (KSPPA) di dalam kepengurusan PSI, yang aktif mengadvokasi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. KSPPA inilah yang berhasil mem-blow up salah satu kasus kekerasan seksual di Jawa Barat kepada media, sehingga kasus ini menjadi perhatian nasional.

Refleksi dalam upaya beradaptasi

Ketika masuk ke dalam sistem, para aktivis mendapati diri mereka berada di ruang yang sama sekali berbeda dengan dunia aktivisme. Relasi dan kultur kerja di lembaga pemerintahan maupun parlemen tentu saja berbeda dengan organisasi civil society (CSO). Perbedaan inilah yang kemudian mendorong mereka untuk beradaptasi. Namun di manakah letak perbedaan mendasar cara kerjaantara  di dalam dengan di luar?

Gung Tri menyebutkan bahwa di dalam pemerintahan, hal yang ditekankan adalah kewajiban. Hal ini berbanding terbalik dengan aktivisme, di mana yang ditekankan adalah hak-hak masyarakat. Jika sebelumnya, sebagai aktivis Gung Tri banyak memberikan pendidikan mengenai hak-hak warga negara, maka ketika posisinya berubah menjadi eksekutif, merupakan tugasnya untuk memenuhi hak-hak tersebut. Inilah kewajibannya. Dan karena kewajiban tersebut melekat dengan kewenangan, maka  eksekutif  juga dituntut untuk selalu mencari solusi praktis atas setiap permasalahan yang disodorkan padanya.

Perbedaan lainnya adalah, karena menjadi bagian dari pemerintah, maka setiap warga negara dari berbagai golongan dan kelompok harus diperlakukan sama. Harus sama-sama didengarkan. Tidak bisa memilih atau memilah yang sependapat atau sejalan saja. Harus banyak terlibat atau berdialog dengan berbagai kepentingan dan melihat dengan berbagai perspektif. Dan kemudian, harus membuat keputusan dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan dan perspektif tersebut, sembari berupaya agar keputusan yang dihasilkan tidak menimbulkan perpecahan. Eksekutif harus selalu bersikap merangkul, dan menganggap bahwa semua orang adalah warga Indonesia yang harus dilayani.

Keharusan untuk memperluas perspektif juga dikonfirmasi oleh Andy maupun Berto. Menurut Andy, dengan berada di dalam sistem, termasuk parlemen, justru kita akan dipaksa melihat sebuah isu dengan berbagai dimensi. Misalnya dalam memutuskan sebuah kebijakan, maka harus dilihat hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publiknya, situasi anggaran, dan lain sebagainya. Sedangkan bagi Berto, pengalaman bekerja dalam lembaga pemerintah telah mendorongnya untuk mengenal bagian/kelompok lain dari seni-budaya. Selama ini Berto lebih banyak bekerja di bidang sastra dan seni rupa kontemporer. Namun pekerjaan di Dirjenbud membuatnya harus berinteraksi dengan pelaku seni yang keterlibatan dan konsentrasinya  di tradisi, sesuatu yang jauh sekali prakteknya dengan seni kontemporer.

Menjadi bagian dari sistem, bagi mereka justru mendorong untuk bersikap lebih humble dalam melihat kompleksitas persoalan. Menyadari begitu rumitnya proses pengambilan keputusan/kebijakan publik. Karena hal ini menyangkut begitu banyak orang, dan bahwa terkadang di dalam satu kebijakan itu akan ada pihak atau kelompok yang dirugikan. Dan ini adalah sebuah keniscayaan.

Panel Pembicara Diskusi FNF-IAF

Tantangan terbesar itu bernama birokrasi

Jika berada di dalam menuntut para aktivis untuk memperluas perspektif, lebih banyak mendengar dan merangkul, lalu kenapa hasil kinerjanya dianggap tidak berdampak dan lambat? Bahkan sebagian aktivis merasa bahwa mereka yang berada di dalam menjadi lebih sulit untuk disentuh?

Menurut Andy, lambatnya pengambilan keputusan masih terkait dengan sistem yang demokratis. Berbeda dengan masa Orde Baru di mana keputusan diambil secara terpusat, di dalam sistem yang demokratis kekuasaan lebih beragam dan tersebar. Ada banyak aktor dan kekuasaan antara pusat dan daerah juga menjadi relatif seimbang karena adanya aspek otonomi daerah. Proses pengambilan keputusan tidak berhenti di tahap mendengarkan berbagai perspektif dan kepentingan, melainkan juga adanya proses tawar-menawar di antara seluruh kekuatan politik. Inilah yang membuat prosesnya terasa lambat. Presiden setidaknya harus berkonsultasi dan meminta persetujuan DPR. Pemerintah pusat harus tawar-menawar dengan pemerintah daerah. Itulah yang dihadapi sekarang, bukan lagi kekuasaan terpusat dan kebijakan yang berlaku top down seperti dahulu.

Jika ditelisik lagi, bisa jadi hal ini pulalah yang membuat sebagian aktivis gaungnya tidak terdengar atau berdampak. Yaitu ketika ia tidak memiliki kekuatan politik yang cukup untuk memenangkan proses bargaining. Bahwa, ketika aktivis berada di dalam, ia juga akan berhadapan, atau bahkan berkompetisi dengan aktor-aktor lainnya. Masuknya aktor alternatif di dalam sistem tidak semerta-merta membuat aktor tersebut menguasai ruang atau arena yang ia masuki.

Relasi antar lembaga turut menambah kompleksitas persoalan. Walaupun secara formal pimpinan lembaga-lembaga pemerintahan hanya satu, yaitu presiden, tapi ternyata kementerian-kementerian bisa memiliki perbedaan dan saling menegasi. Hal ini membuat menjalankan kebijakan menjadi sangat sulit. Kebijakan yang satu bisa memiliki efek yang merugikan masyarakat, namun hal itu kemudian menjadi beban dari kementerian yang lainnya. Itu yang membuat pemerintahan ini sebetulnya satu di dalam bangunan, satu bosnya, tetapi di dalam bekerjanya bisa saling bertentangan.

Misalnya kebijakan tentang buruh migran, yang jelas-jelas memberikan kerentanan pada perempuan yang begitu besar. Kemudian ketika terjadi banyaknya buruh migran perempuan yang mengalami kekerasan, maka beban itu diberikan kepada Kementerian PPPA dan bukannya Kemennaker. Atau ketika sekolah-sekolah dengan mudahnya mendapatkan izin untuk didirikan. Tetapi ketika ada kekerasan seksual di sekolah, maka hal tersebut bukan menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan, melainkan dibebankan kembali kepada Kementerian PPPA.

Namun, baik Andy, Gung Tri, maupun Berto memiliki kesimpulan yang sama mengenai apa atau siapakah penghambat utama di dalam pengambilan keputusan maupun eksekusinya: birokrasi. Birokrasi memiliki beberapa persoalan, di antaranya, pertama, sistem administrasi dan tusi (tugas dan fungsi) yang tidak efisien. Berdasarkan pengalaman Berto, banyak sekali ide dan kerja-kerja yang terhambat karena terpaksa tunduk pada pembatasan-pembatasan sistem administrasi dan pembagian tusi  dari setiap bidang lembaga pemerintahan itu sendiri. Misalnya beragamnya nama dinas di daerah. Jika namanya berbeda, maka apa yang dianggap prioritas oleh daerah tersebut juga berbeda. Tingkat kewenangannya berbeda, sehingga jalur yang harus dilalui untuk mewujudkan kerja-kerja tersebut juga berbeda. Apabila berhubungan langsung dengan (kepala) Dinas, maka urusan akan lebih lancar. Tapi jika berurusan dengan kepala bidang yang kewenangannya lebih rendah, maka pekerjaan akan lebih terhambat.

Hal ini dikonfirmasi oleh Myra Diarsi – yang juga hadir dalam diskusi untuk memberi tanggapan.  Implementasi kebijakan nasional maupun lokal sangat tergantung kepada bagaimana pemerintah daerah menyikapi dan mengeksekusinya. Antara gubernur dengan dinas-dinas di daerah juga tidak selalu sejalan. Tidak selalu satu visi. Penamaan, penggabungan, ke bawahnya bisa beragam-ragam. Setiap dinas memiliki kebijakan, anggaran sendiri yang sama sekali tidak ingin dikumpulkan atau dipersatukan dalam satu kerja yang substantif dan sinergis.

Rumitnya prosedur (sesuai tusi) dan administrasi menimbulkan masalah kedua, yakni tidak adanya ruang untuk berinovasi atau berkreativitas. Hal ini diperkirakan karena adminitrasi yang sangat menyulitkan, ribet dan membutuhkan ketelitian kerja yang cukup tinggi, sehingga waktu yang dihabiskan untuk mengurus hal tersebut cukup banyak. Ketiga, tidak adanya sistem insentif menambah penyebab kurangnya inovasi. ANS tidak ada sistem reward di mana kinerja yang baik akan mendapatkan insentif, sehingga peningkatan kapasitas menjadi tidak relevan. Selain itu, ANS juga tidak bisa dipecat kecuali melakukan kejahatan luar biasa seperti korupsi, terorisme, narkoba, mengkhianati negara, menyalahgunakan wewenang dan menjadi anggota partai politik.

Keempat, masih dominannya pandangan yang melihat ANS sebagai pekerjaan yang harus dicapai untuk menaikkan status sosial keluarga dan di tengah masyarakat. Itu masih sangat kuat. Jadi ini yang membuat juga tidak ada sebenarnya keinginan untuk berinovasi. Kelima, sifat birokrasi yang sangat hierarkis dan mengharuskan adanya aturan. Tugas birokrasi adalah melaksanakan perintah atau mandat yang diberikan. Jika kita mengajak orang di birokrasi untuk berubah, mereka akan selalu bertanya, “Dasar hukumnya apa, UU-nya apa, aturannya apa?” Kultur itulah yang sangat kuat. Yaitu kultur bawahan yang mau bekerja hanya kalau ada peraturannya, dan bukan karena agar hal yang di masyarakat yang harus direspon. Hal ini jelas bertentangan dengan moda kerja para aktivis yang terbiasa untuk melakukan perlawanan, menipiskan hierarki dan memperbesar kesetaraan.

Begitu seriusnya persoalan di dalam birokrasi, sehingga terdapat sebuah anekdot yang mengatakan:

partai politik yang terbesar sebetulnya birokrasi. Yang menguasai anggaran, yang menguasai sumber daya, tapi juga bisa mengerahkan pengaruh kerja, visi terhadap bagaimana menjalankan pemerintahan dengan gaya mereka sendiri.”

Menarik pelajaran dari pengalaman

Dari berbagi pengalaman yang berlangsung dalam diskusi, kita bisa menarik kesimpulan atau pembelajaran sebagai berikut:

  • Apa yang sudah dilakukan di dalam oleh teman-teman dapat kita lihat sebagai suatu kemajuan. Tetapi hal ini tetap membutuhkan kerja-kerja lain yang bisa mendorong teman-teman di luar untuk memperhatikan/memantau dan memanfaatkan hasil-hasil kerja tersebut.
  • Terkadang informasi-informasi mengenai perkembangan atau kemajuan seperti ini sering luput. Sehingga harus juga dilakukan kerja-kerja lain oleh teman-teman di dalam untuk mengupayakan agar informasi tersebut sampai kepada teman-teman di luar.
  • Kita, baik yang di luar maupun di dalam, memang harus lebih (menekankan pada) kerja-kerja yang lebih jangka panjang, dan kemudian sesuatu yang lebih fokus dalam bentuk kerja-kerja sama di mana ada titik-titik temu. Misalnya antara NGO dengan satu kekuatan politik pada isu tertentu, bergabung untuk menggolkan suatu gagasan.
  • Perlu sebuah kesabaran yang lebih besar. Karena segala hal itu melalui proses negosiasi. Tidak bisa kita meng-enforce sebuah otoritas, karena tidak ada otoritas tunggal lagi di dalam sebuah sistem yang demokratis. Kekuasaan lebih terfragmentasi dan menyebar. Ada di partai politik, ada di birokrasi, ada di presiden, ada di parlemen, ada di pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan sebagainya.
  • Perubahan bersifat evolutif, bukan revolutif.
  • Menekan dari atas itu penting, namun tekanan keras dari masyarakat di daerah masing-masing juga penting. Gerakan harus memiliki daya tekan tidak hanya mengerucut ke pusat, tapi dia juga menyebar dan bisa memberikan tekanan di tingkat bawah. Hal ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan jaringan dan kontak yang ada di daerah, seperti bekerja sama dengan berbagai asosiasi/organisasi/lembaga dan teman-teman akademisi.
  • Praktek-praktek baik yang sudah dilakukan di sisi pemerintahan masih bersifat sporadis. Dan yang sporadis ini tidak akan memperlihatkan suatu perubahan kalau dia tidak direplikasi, tidak diperbesar atau tidak menjadi sebuah teori gerakan. Pekerjaan rumah kita adalah bagaimana mengubah praktek yang baik ini menjadi sebuah agenda politik, baik itu agenda politik di luar pemerintah, atau di partai politik.

Rekomendasi: Rekoneksi Gerakan Demokrasi

Walaupun dengan masuknya teman-teman aktivis ke dalam sistem, yang membuat kesempatan (opportunity) untuk melakukan perubahan semakin besar, jebakan dan tantangan (trap and challenge) yang dihadapi di dalam juga besar. Daripada melepaskan opportunity tersebut, dan menarik garis embarkasi atas nama idealisme, akan lebih produktif apabila kita memperlakukan hal tersebut sebagai sebuah kekuatan yang harus dimanfaatkan dengan baik. Namun untuk melakukannya kita tidak bisa melakukannya sendiri-sendiriatau terpisah. Dan oleh karena itu penting untuk menjembatani kembali antara teman-teman yang berada di dalam sistem dengan yang berada di luar sistem.

Upaya menjembatani kembali atau rekoneksi bisa dilakukan melalui:

  1. Membuat atau mengadakan sebuah forum, forum konsultasi atau forum diskusi reguler yang bisa mempertemukan teman-teman yang bekerja di pemerintahan dan/atau parlemen dengan teman-teman yang bekerja dari luar. Termasuk teman-teman aktivis yang berada di daerah. Setiap orang  pasti punya pengalaman berbeda-beda, sehingga forum tersebut bisa menjadi wadah untuk mengumpulkan dan saling berbagi pengalaman. Selain berbagi pengalaman, manfaat lain dari forum tersebut adalah untuk meningkatkan semangat dan memberi dukungan kepada teman-teman yang sedang mengalami stagnasi di dalam perjuangan mereka, agar tidak putus asa.
  2. Di luar forum rutin, harus ada forum untuk merumuskan agenda bersama. Apa sinergi yang bisa dilakukan dari luar dan dari dalam. Baik jangka panjang maupun jangka pendek. Jangka pendek misalnya dalam menyikapi isu tertentu yang cukup urgent.
  3. Tujuan lain yang ingin dicapai dalam forum adalah menghilangkan jarak atau prasangka, membangun trust, dan pada akhirnya membangun kerja bersama.

Ditulis oleh Attia Nur.