DE

Hak Asasi Manusia
Apa yang Didapat 25 Peserta dalam Pelatihan Advokasi Kebebasan Sipil Selama Tiga Hari

Apa yang Didapat 25 Peserta dalam Pelatihan Advokasi Kebebasan Sipil Selama Tiga Hari
© Rendy Novantino

Indonesia merupakan salah satu negara yang sudah memiliki Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Lebih dari itu, Indonesia juga sudah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Politic Rights (ICCPR).

Hal itu berarti penegakkan kebebasan sipil dan Hak Asasi Manusia (HAM) secara umum di Indonesia dalam kebebasan sipil dan kebebasan politik maupun kebebasan ekonomi, sosial, dan budaya sudah memiliki dasar hukum yang kuat. Meskipun demikian, dalam implementasinya, baik pelanggaran-pelanggaran kebebasan sipil dan kebebasan politik dalam beberapa tahun terakhir semakin sering ditemukan.

Persoalan tersebut disampaikan oleh Sukron Hadi (Manajer Program Lembaga INDEKS) dalam pembukaan Pelatihan Advokasi Kebebasan Sipil bertajuk Pancasila, Kebebasan, dan Hak Asasi Manusia: Antara Konteks dan Universalitas Nilai yang digelar oleh Friedrich Naumann Foundation (FNF) Indonesia bekerja sama dengan Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Lembaga INDEKS) dan didukukung oleh Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.

“Itu yang menjadi salah satu latar belakang kenapa pelatihan ini dilaksanakan,” kata Sukron Hadi.

Pelatihan tersebut digelar secara online melalui aplikasi Zoom meeting, pada Selasa-Kamis, 7-9 September 2021. Pelatihan ini menghadirkan Atikah Nuraini (Asia Justice and Rights—AJAR) sebagai lead trainer. Selama tiga hari, Atikah didampingi co-fasilitator training Sukron Hadi dan Nanang Sunandar dari Lembaga INDEKS.

Kegitan tersebut diikuti oleh 25 peserta terpilih dari 82 pendaftar. Adapun latar belakang peserta adalah mahasiswa hukum, mahasiswa yang memiliki concern dan bergiat di isu kebebasan sipil, dan pegiat sosial, dengan rentang usia 18-30 tahun.

Selain trainer dan co-fasilitator, training ini juga menghadirkan tiga narasumber, yakni Yosep Parera dari Rumah Pancasila, Damar Juniarto dari SAVENet, dan Asfinawati dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Pada hari pertama, sebagai diskusi pembuka kegiatan training, para peserta diajak berdiskusi bersama Yosep Parera dengan tema “Pancasila dan Diskursus Kebebasan Sipil”. Dalam diskusi tersebut, Parera mencoba memaparkan titik temu antara Pancasila dengan Kebebasan Sipil.

Yosep menyampaikan bahwa sila-sila dalam Pancasila bisa menjadi dasar bagi kebebasan sipil dan HAM. Yosep memaknai nilai-niali Pancasila sebagai sesuatu yang harus dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat dan anggota bangsa Indonesia. Dengan itu, niscaya masyarakat Indonesia dapat hidup rukun dengan saling menghargai, dan menghormati kebebasan sipil di tengah keragaman.

Setelah istirahat makan siang, Atikah sebagi lead trainer membuka training dengan mengajak peserta memperkenalkan diri. Pada kesempatan ini, peserta juga daiajak memetakan masalah kebebasan sipil di wilayahnya masing-masing.

Pada sesi berikutnya, Atikah bersama Nanang dan Sukron memandu para peserta berdiskusi kelompok melalui Breakoutroom Zoom Meeting untuk mendalami “Sejarah dan Dinamika Kebebasan Sipil di Indonesia”. Para peserta diberikan bahan materi pendukung sesi ini dan masing-masing kelompok diminta untuk menganalisanya.

Kelompok pertama ditugaskan untuk mendiskusikan dan bekerja kelompok dalam mengidentifikasi dan menganalisa “Apa saja cakupan dan jenis-jenis kebebasan sipil, serta contoh-contohnya”. Kelompok kedua “Membuat  timeline sejarah gerakan kebebasan sipil di dunia dan di Indonesia”. Kelompok ketiga diminta untuk “Menemukan landasan hukum dan HAM untuk jaminan perlindungan kebebasan sipil di Indonesia ataupun internasional.”

Setelah diskusi dan kerja sama kelompok, masing-masing kelompok diminta mempresentasikan hasilnya di Main Room Zoom, di hadapan seluruh peserta dan fasilitator.

Pada hari kedua, narasumber kedua Asfinawati mempresentasikan tema “Kebebasan Sipil dalam Sistem Hukum Indonesia”. Asfin menunjukkan kepada peserta landasan-landasan hukum di Indonesia dan seluruh poin-poin kebebasan sipil. Meskipun terdapat jaminan hukum, YLBHI telah menemukan sejumlah pelanggaran kebebasan sipil di Indonesia baik yang dilakukan oleh aktor pemerintah ataupun masyarakat sipil.

“Pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara lisan terbanyak hingga 26%,” kata Asfinawati.

Untuk itu, ia mendorong kepada semua peserta untuk ikut merawat, mengkampanyekan, dan mengadvokasi kebebasan sipil di wilayahnya masing-masing meskipun ruang kebebasan sipil saat ini terasa semakin menyempit.

Setelah sesi bersama Asfinawati, peserta diajak berdiskusi kelompok untuk “Menelusuri Jaminan Kebebasan Sipil dalam Hukum Hak Asasi Manusia”. Kelompok pertama diminta menelusuri jaminan atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Kelompok dua diminta menelusuri jaminan atas Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat. Kelompok tiga diminta menelusuri jaminan atas Bebas dari Penyiksaan dan perlakuan/penghukuman yang kejam. Kelompok empat diminta menelusuri jaminan atas Rasa Aman. Kelompok lima diminta menelusuri jaminan Hak atas Privasi. Setelah selesai berdiskusi dalam kelompok, masing-masing kelompok diminta mempresentasikan hasil kerja sama kelompoknya di Main Room.

Sesi berikutnya, Atikah bersama Nanang dan Sukron mendampingi peserta untuk menganalisa Situasi dan Praktik Kebebasan Sipil di Indonesia. Masing-masing dari lima kelompok diberikan kasus pelanggaran kebebasan sipil di Indonesia untuk dianalisa bersama di dalam grup dan kemudian dipresentasikan di Main Room.

Kegiatan pada hari kedua ditutup dengan memberikan tugas untuk dikerjakan di rumah masing-nasing kepada para peserta untuk membaca Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta menonton film dokumenter berjudul Watch Dog.

Pada hari ketiga, setelah para peserta mereview materi yang didapat pada hari kedua, para peserta diajak mendalami isu “Media, Teknologi Informasi, dan Kebebasan Sipil di Indonesia” bersama narasumber Damar Juniarto.

Menurut Damar, kebebasan berpendapat dan berekspresi dapat dibatasi atas dasar untuk menghargai hak-hak dan reputasi orang lain; serta untuk melindungi keamanan nasional dan ketertiban sipil, moral publik.

“Berdasarkan Statuta Roma, kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak boleh dibatasi selama tidak untuk mengobarkan perang, tidak untuk menyebarkan kebencian yang mengarah kepada rasisme, dan tidak mengganggu keamanan nasional,” Damar menjelaskan.

Damar juga menegaskan bahwa adanya UU ITE tidak dapat menghilangkan fakta bahwa Hak Digital sebagai hak asasi. Hak digital, kata Damar, adalah hak asasi dan hak hukum yang menjamin tiap warga negara untuk mengakses, menggunakan, membuat, dan menyebarluaskan melalui media digital.

“Harus ada jaminan atas kebebasan mengakses informasi, hak untuk berekspresi, dan hak untuk merasa aman di media digital,” kata Damar.

Pada sesi berikutnya, Atikah memaprakan materi Strategi Advokasi Kebebasan Sipil yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelompok Merancang Strategi Advokasi Kebebasan Sipil. Sebelum diskusi kelompok, Atikah memetakan bahwa warga negara adalah pemegang hak (rights holders) dan Negara adalah pemangku kewajiban (duty bearer).

“Kewajiban negara adalah menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill). Pelanggaran HAM terjadi ketika negara tidak melaksanakan kewajibannya. Pelanggaran negara dapat berupa aktif melakukan pelanggaran (by commission) atau pembiaran terhadap pelanggaran HAM (by omission),” kata Atikah.

Atikah melanjutkan, advokasi kebebasan sipil adalah upaya untuk memberi tekanan dan meyakinkan otoritas negara dan upaya untuk mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan program dan kebijakan publik.

“Kenapa kita perlu advokasi kebebasan sipil, karena untuk memperkuat dan memberdayakan masyarakat sipil,  menyelesaikan masalah khusus dalam masyarakat, dan memajukan dan mengkonsolidasikan demokrasi,” tambah Atikah.

Setelah setiap kelompok menganalisa kasusu pelanggaran kebebasan sipil, mereka diminta untuk merancang dan berlatih melakukan pengaduan ke Komnas HAM (bagi kelompok I), membuat utas (thread) di Tweeter minimal 10 tweet sebagai upaya kampanye isu (bagi Kelompok II), dan membuat kertas kebijakan/policy brief (bagi kelompok III). Masing-masing kelompok kemudian diminta untuk mempresentasikan hasil kerja kelompok mereka.

Kegiatan ini ditutup dengan sesi Rencana Tindak Lanjut. Semua peserta berkomitmen untuk menyampaikan materi yang ia dapat kepada komunitasnya serta untuk melakukan upaya-upaya kampanye dan advokasi kebebasan sipil di wilayahnya masing-masing.