DE

Demokrasi
Merawat Warisan Cinta Gus Dur

Workshop Pers Mahasiswa "Meliput Pluralisme dan Keberagaman", Semarang, 1 - 4 Februari 2019
Penulis (Faqih Mansyur) melakukan wawancara di salah satu Klenteng
Penulis (Faqih Mansyur) melakukan wawancara di salah satu Klenteng © FNF Indonesia, SEJUK

“Kalau kamu bisa melakukan yang baik untuk semua orang, orang tidak akan menanyakan agamamu..” (Gus Dur)

Kutipan itulah yang mengawali perbincangan ihwal keberagaman dan toleransi oleh Aloysus Budi Purnomo atau sering disapa Romo Budi. Baginya, Gus Dur adalah begawan seluruh umat beragama di Indonesia.

Alunan saksofon bernada Syi’ir Tanpo Waton atau Syi’ir Gus Dur ia suguhkan di hadapan peserta Workshop Jurnalistik oleh Sejuk saat mengunjungi komplek gereja Katolik Santo Athanasius Agung, Karangpanas Semarang, (3/2/2019). Hampir satu menit Romo Budi berhasil mematungkan peserta yang mayoritas beragama Islam. Seorang romo melantunkan ajaran hidup orang Islam.

Menurut Romo Budi, Syi’ir Gus Dur adalah falsafah keislaman Nusantara yang dapat diterapkan di semua agama. Kalimat-kalimat yang disyi’irkan juga merupakan khasanah nusantara yang adhi luhung.

Diskusi Peserta dengan Romo Budi
Diskusi Peserta dengan Romo Budi © FNF Indonesia, SEJUK

Bahkan, lanjut Romo Budi, saking cintanya kepada Gus Dur, pengurus kelenteng dan masyarakat setempat menyediakan sate kambing di dekat Sinci. Alasannya, etnis Tionghoa memiliki kebiasaan menyuguhkan makanan kesukaan para dewa mereka. Seperti bakpao, lumpia, atau babi panggang.

Warisan keberagaman

Romo melanjutkan, 49 hari setelah wafatnya Gus Dur, ia didampingi Inayah Wahid, putri bungsu Gus Dur dan sejumlah tokoh-tokoh lintas agama untuk membacakan deklarasi “Mewarisi Semangat Gus Dur” di Taman Budaya Raden Saleh Semarang. Untuk itulah, hingga saat ini ia masih bersemangat dengan komitmen untuk melanjutkan pemikiran Gus Dur untuk menjaga keberagaman di Indonesia.

Kepada umat Katolik di Semarang, Romo Budi selalu mengajarkan toleransi dan pemikiran-pemikiran Gus Dur yang menyatukan. Hal itu dikarenakan sosok seperti Gus Dur sangatlah langka. Tidak sembarangan orang mampu mencapai maqom (tingkatan: red) seperti itu.

“Seperti Romo Mangun yang menjadi tokoh besar di kalangan kami, butuh satu juta orang untuk menggantikan Gus Dur dengan segala kehebatannya,” tuturnya.

Sama halnya dengan Romo Budi, Sadhana (52), salah satu masyarakat etnis Tionghoa di kawasan pecinan Semarang, menganggap bahwa Gus Dur adalah maha guru dari bangsa Indonesia. Seperti yang diketahui bersama, di kalangan mereka, Gus Dur adalah “bapak” mereka yang diberi predikat sebagai bapak Tionghoa Indonesia.

Melihat kondisi bangsa saat ini, Sadhana mengaku sangat merindukan kehadiran Gus Dur. Sebab, baginya, sepanjang perjalanan bangsa yang ia lalui, baru akhir-akhir ini ia merasakan kegentingan keberagaman Indonesia. Dia berandai-andai, jika Gus Dur masih hidup, pasti tidak akan ada kondisi bangsa yang seburuk ini.

“Seperti berita yang terbaru, ada pernyataan di Bogor yang menyebutkan pelarangan mengucapkan selamat hari raya Imlek kepada etnis Tionghoa. Ini kan sangat aneh, keberagaman dan toleransi yang diperjuangkan oleh Gus Dur malah diporakporandakan,” katanya usai Sembahyang di Kelenteng Ling Hog Kyu.

Hal itu dibenarkan oleh Bedjo Santosa (54), sekertaris pengurus Kelenteng Ling Hog Kyu. Bagi Bedjo, Gus Dur adalah tokoh idaman kedua seteleh Ir. Soekarno. Sebab, Gus Dur adalah pemimpin yang mampu memberikan satu warna utama di antara warna-warna perbedaan di Indonesia. Yaitu warna pluralisme.

“Saya itu sudah mengidolakan Gus Dur jauh sebelum menjadi presiden. Meskipun beliau orang Islam, tapi saya sangat mengagumi pemikiran-pemikirannya yang mapu menyatukan perbedaan-perbedaan di Indonesia,” ujarnya saat kami temui di Kelenteng Ling Hong Kyu.

Bedjo menambahkan, Gus Dur adalah insan yang mendapat keistimewaan dari Tuhan yang mampu mengetahui banyak hal yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Bahkan, Gus Dur mampu melampaui jauh pemikiran orang-orang tentang masa yang akan datang.

Atas dasar cinta, lanjut Bedjo, Gus Dur mampu menuangkan pemikiran-pemikiran tentang kemanusiaan dan keberagaman. Ia telah membuktikan pemikirannya itu di Semarang. Saat etnis Tong Hoa tidak memiliki ruang untuk mengekspresikan agamanya, Gus Dur hadir sebagai pembuka pintu kebebasan beragama bagi etnis Tionghoa.

Ia juga mengaku sangat merindukan sosok Gus Dur hadir di tengah-tengah mereka. Untuk mengobati rindunya itu, Bedjo senantiasa merawat warisan Gus Dur dengan beragam cara. Dari hal yang paling sederhana, seperti saling serawung (berinteraksi: red) dengan agama-agama lain yang ada di Semarang seperti Islam dan Katolik. Sebab, baginya, atas pondasi cinta dari Gus Dur, menjaga toleransi antar umat beragama adalah laku paling mudah dan sederhana, namun bermakna sempurna.

Kunjungan ke Rumah Retret Nazareth
Kunjungan ke Rumah Retret Nazareth © FNF Indonesia, SEJUK

*Faqih Mansyur Hidayat adalah salah satu peserta Workshop FNF Indonesia dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) di Semarang, 1 - 4 Februari lalu. Ia adalah anggota dari LPM Paradigma IAIN Kudus.