DE

Kebebasan Ekonomi
Kebebasan Warga Vis-á-vis Kewenangan Pemerintah

Filsafat Politik, Jason Brennan, FNF Indonesia, Lembaga Indeks
Kebebasan Berpendapat
© Photo by Markus Winkler on Unsplash

Webinar Diskusi Bedah Buku berjudul “Filsafat Politik” karya Jason Brennan kembali diadakan untuk yang ketiga kalinya pada Jumat, 4 September 2020. Diskusi tersebut diadakan oleh Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Lembaga INDEKS) bekerjasama dengan Friedrich Nauman Foundation (FNF Indonesia). Kali ini panitia penyelenggara mengundang Cania Citta Irlanie sebagai pembicara tamu.

Pada diskusi tersebut, Cania lebih menekankan pembahasan terkait freedom of speech (kebebasan berpendapat) dalam menanggapi tema diskusi. “secara umum Jason Brennan dalam bukunya tersebut meringkas berbagai pemikiran salah satunya tentang kebebasan berpikir. Dalam konteks kebebasan sipil, hal yang paling sering diperdebatkan adalah kebebasan berpendapat. Jadi kebebasan sipil lainnya itu orang-orang cenderung sudah setuju. Contohnya seperti kebebasan dalam memilih dan dipilih, kemudian kebebasan dalam berorganisasi dan lain sebagainya. Namun perdebatan terkait kebebasan berpendapat cukup sengit dan sampai sekarang kita masih melihatnya.” Ungkap vlogger politik tersebut.

Lebih lanjut, Cania berpendapat bahwa banyak masyarakat yang salah paham dengan definisi kebebasan itu sendiri. Kebanyakan dari mereka mecampur adukkan ranah hukum dengan ranah lainnya. Selain itu, menurutnya kata filsafat politik tidak membahas mengenai etika atau moral namun lebih mengarah kepada apa yang bisa diatur dan tidak diatur oleh Negara. Dia menyimpulkan bahwa berbicara terkait kebebasan berpendapat adalah berbicara mengenai apakah suatu pendapat itu harus diatur atau tidak oleh Negara, bukan berbicara mengenai apakah pendapat tersebut etis atau tidak.

Dia juga sepemahaman dengan prinsip-prinsip kebebasan berpendapat di dalam buku yang sedang didiskusikan. “salah satu pembahasan di dalam buku mengenai kebebasan ide atau gagasan yang saya setuju yaitu saya tidak menaruh batasan apapun untuk kebebasan berpendapat. Karena memang sudah seharusnya pendapat itu dikontestasikan dengan pendapat lainnya. Konsekuensinya apabila kebebasan berpendapat itu diaur oleh Negara adalah bias kepentingan dari Negara itu sendiri. Bahkan ini berlaku juga kepada masyarakat sipil yang memiliki basis masa cukup besar. sehingga apabila kebebasan berpendapat diatur dan dituangkan ke dalam hukum akan menjadi rigid, sedangkan Kebebasan berpendapat merupakan ranah opini yang tidak dapat diobjektifikasi. Jadi, menurut saya pendapat itu seharusnya dikontestasikan secara bebas oleh masyarakat agar mereka dapat menilai secara mandiri menurut kultur, nilai dan norma yang ada di masyarakat, bukan tiba-tiba mendapat kesimpulan dari Negara.” Terang Cania.

Berbeda dengan Cania, pembicara kedua yaitu Nanang Sunandar mengangkat isu ruang lingkup kebebasan ekonomi. Dia membahas dua gagasan besar terkait keadilan ekonomi di dalam buku tersebut yaitu pendapatnya John Rawls (Nanang menegaskan bahwa dia adalah seorang liberal kiri) terkait keadilan sosial dan penantangnya yaitu kelompok libertarian yang diwakili oleh Robert Nozick dan langsung menggugat konsep keadilan itu sendiri.

“Dalam bagian ini Brennan melanjutkan perdebatan antara John Rawls dan kelompok libertarian atau libertarian tentang teori keadilan. Jadi dalam bagian pertama John Rawls mengusung teori keadilan yang oleh kelompok libertarian disebut keadilan berpola, sementara kelompok libertarian yang diwakili Nozick menggunakan teori keadilan historis. Dalam definisinya masing-masing akhirnya mereka berbeda pandangan terkait konsep keadilan. Teori keadilan Rawls menurut Brennan dibangun di atas dua prinsip yaitu kebebasan dan perbedaan, dengan prinsip perbedaan ini Rawls mengajukan konsep keadilan distributif. Bagiamana hasil-hasil dari ekonomi itu bisa didistribusikan dan dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat yang paling kurang beruntung. Sementara dengan prinsip kebebasannya, Rawls menggaris bawahi bahwa upaya mendistribusikan kesejahteraan tersebut tidak boleh melanggar kebebasan-kebebasan yang mendasar. Menurut Brennan titik masalahnya di sini adalah konsep kebebasan antara John Rawls dan kelompok libertarian itu berbeda sehingga terjadi perbedaan pandangan bagaimana hasil-hasil ekonomi ini terdistribusikan ke masyarakat.” Jelas Direktur Eksekutif Lembaga INDEKS tersebut.

Pembicara ketiga yaitu Peneliti SMRC Saidiman Ahmad membahas tentang legitimasi dan otoritas pemerintahan yang juga terbahas di buku yang ditulis oleh Brennan tersebut. “Di dalam bab ini Jason Brennan mengemukakan dua hal penting atau mempertanyakan dua hal penting yaitu tentang legitimasi dan otoritas. Pemerintah adalah bagian dari masyarakat yang mengeklaim monopoli atas orang-orang tertentu di sebuah wilayah. Dia kembali mempertakan, kalau semisal kita tidak setuju dalam dunia sosial ada suatu perusahaan yang memonopoli perdagangan, kenapa Negara kita kasih hak untuk melakukan itu? Kira-kira seperti itu pertanyaannya. Dia ingin mengatakan pada dasarnya monopoli itu buruk.” Terang Saidiman pada awal presentasinya.

Lebih lanjut saidiman menjelaskan definisi legitimasi dan otoritas menurut Brennan. “dia membahas dua hal penting di sini tentang Negara atau Pemerintahan yaitu legitimasi dan otoritas. Legitimasi adalah kewenangan untuk membuat atau menegakkan aturan atas orang-orang tertentu dalam sebuah wilayah geografis. Sedangkan otoritas merupakan kekuatan untuk menciptakan kewajiban moral pada orang lain untuk mematuhi aturan-aturan itu. Suatu pemerintah adalah sah atau legitimate hanya saat ia berwenang oleh karenanya pemerintah berdiri serta membuat, mengeluarkan dan secara paksa menegakkan aturan. Jadi legitimasi itu soal bagaimana Negara berwenang dalam menetapkan suatu aturan, sementara otiritas berbicara tentang bagaimana publik memiliki kewajiban moral untuk mematuhi aturan yang telah dibuat oleh pemerintah.”